Berkeliaran di luar kelas saat jam istirahat bukanlah sebuah kebiasaan bagiku. Aku selalu mendekam di kelas bersama Somi—tidak seperti Jeno, aku bawa bekal sendiri. Tapi kali ini Jeno berhasil membuatku meninggalkan singgasanaku. Tidak, bukan untuk ke kantin. Tapi untuk ke ruang kesehatan. Jeno baru saja membuat anak orang pingsan.
Padahal sudah mau lulus. Kenapa masih cari gara-gara juga?
Aku berjalan dengan sedikit tergesa-gesa. Aku tidak terbiasa berada di luar kelas terlalu lama. Di kelas, urusan-urusanku Somi yang menjaga. Tapi justru itu masalahnya. Bukan kenapa-kenapa, hanya saja, Somi itu ... agak pemilih orangnya.
Aku menatap pintu putih itu sembari menetralkan deru napasku. Baru saja aku ingin membuka pintu, seseorang menarik pergelangan tanganku, memaksaku pergi menjauh.
"Ikut gue."
Loh? Loh? Kok?
"Tapi Ren—"
"Jeno nggak ada di dalem."
"Tapi ceweknya—"
"Dia nggak papa."
"Nggak papa kok ping—"
"Lebay doang."
Renjun terus menarikku menjauh hingga kami berdua berakhir di kantin.
"Lebay gimana maksudnya?" tanyaku saat kami sudah berhenti berjalan.
Renjun membuang pandangannya ke sembarang arah. "Ya ... lebay. Bola basket kan, nggak sekeras itu."
Aku mengernyit. "Yang namanya standar rasa sakit kan beda-beda tiap orang. Air setetes pun kalau jatuh dari ketinggian sekian puluh meter tetap aja sakit, apa lagi ini yang bola basket. Mungkin aja dia orangnya emang—"
"Ya udahlah. Dia juga udah baik-baik aja."
Aku menghela napas pelan. "Kan gue cuma mau ngecek aja, Ren."
"Nggak perlu. Nggak penting."
"Tap—"
"Bukan salah lo juga."
"Tapi kan Jeno—"
"Lo cek pun buat apa?"
Kedua alisku menukik semakin tajam.
Dia ini kenapa, sih?
"Terus kenapa kita ke kantin?"
"Karena ... karena gue lapar."
"Dan?"
"Ya gue mau makanlah."
"But it's not my bussiness, isn't it?"
Renjun mengangkat bahu.
Rahangku jatuh seketika. Aku benar-benar tidak mengerti dengan orang ini.
"Loh, Jen?"
Aku menoleh, mendapati Jeno sedang berdiri dengan membawa nasi goreng di tangannya. Alisnya naik sebelah. Pandangannya fokus pada satu titik.
Aku mengikuti arah pandang Jeno yang ternyata berakhir di tanganku. Tepatnya, di pergelangan tanganku yang masih dipegang Renjun.
"Ehm, sorry?" Renjun tersentak dan melepaskan tanganku begitu saja. Dia tampak salah tingkah. Dan seperti itu, dia kemudian berlalu. Mungkin pergi memesan makanan.
"Em, jadi ... kenapa lo bisa sama Renjun?"
Mengabaikan pertanyaan Jeno, aku mengusap wajahku. "Anak orang diapain lagi, Lee?"
Air muka Jeno berubah. Ia memasang cengiran di wajahnya. "Hehe, nggak sengaja, Jen."
"Nggak sengaja gimana? Lagian biasanya juga main futsal, kenapa tiba-tiba jadi main basket, sih? Itu anak orang kalau kenapa-kenapa gimana, Jeno?"
"Yeee! Dia yang salah tau, Jen! Random banget berkeliaran di pinggir lapangan."
"Ih, malah nyalahin orang!"
"Ya udah, salah bolanya, deh."
"Jeno!"
"Ya ampun Tuhan, bawel banget kakak gue. Udah, mending kita duduk manis sambil makan." Jeno merangkulku, tapi langsung kutepis sebelum ia sempat menggiringku duduk.
"Udah makan."
"Ya terus ngapain jauh-jauh ke sini, Beb?"
Karena Renjun menarikku ke sini.
Tapi tidak. Aku tidak mengatakannya. Aku memilih diam dan berbalik arah. Masa bodo dengan Jeno. Sampai di rumah akan kuadukan pada Bunda.
Setidaknya, rencana awalnya begitu. Tapi Jeno bersikukuh menahanku di kantin. Ia melingkarkan tangannya yang bebas di pinggangku dan menggiringku ke sebuah meja. Di sana sudah ada Haechan dan makanannya yang tersisa setengah.
"Oh? Tumben? Udah dapat hidayah kalo suasana kelas tuh nggak semenyenangkan itu?" tanya Haechan.
Aku tersenyum. "Terpaksa, Chan."
"Lo senyum tapi kok gue ngeri ya, Jen?" Haechan terkekeh.
"Nih, mau nggak?" Jeno menawarkan nasi gorengnya.
"Dibilangin udah makan."
"Minum, deh. Gue traktir."
"Gaya. Uang juga dari Bunda."
"Ya kan udah dikasih ke gue, Jen. Jus alpukat, kan?"
"Terserah."
Jeno menyuruh adik kelas yang kebetulan lewat untuk memesankanku minuman. Saat kutanya siapa nama adik kelas itu, ia bilang ia tidak tau. Benar-benar contoh senior yang tidak baik.
Aku mengambil tissue yang ada di saku rokku dan mengelap pelipis Jeno. "Yang bersih kek jadi orang."
"Ya kan abis main, Beb."
"Alasan mulu."
"Ngiiiing ... Obat nyambuk banget gue di sini. Enak banget jadi lo, Jen. Sodara rasa pacar."
Tidak lama Renjun bergabung dengan kami. Ia mengambil tempat di hadapanku dan langsung makan tanpa ba bi bu.
Aku baru sadar bahwa mereka hanya bertiga. Jadi, di mana Jaemin berada?
Lalu seolah menjawab pertanyaanku, Jaemin tiba-tiba muncul. Tapi ia tidak bergabung dengan kami—Jeno dan teman-temannya—melainkan hanya lewat dengan kantongan yang kutebak berisi makanan.
"Woy! Mau ke mana dah?" teriak Haechan.
Jaemin mengangkat kantongannya. "UKS."
"Belom kelar juga lo ngurusin si Nyai?"
Jaemin terkekeh. "Ini juga gara-gara lo semua kali."
"Dih, Jeno tuh!"
Jaemin mendengus geli lalu menggeleng. "Gue cabut. Eh, Jen, nanti punya gue nitip di Haechan aja, ya!"
"Yeeu, Hileud teh aya aya wae? Nyusahin aja bisanya!" keluh Haechan.
Tapi aku tetap mengangguk. Mataku mengikuti pergerakan Jaemin hingga ia tidak terlihat lagi. Saat ini, pikiranku sedang berusaha mengumpulkan satu per satu kepingan yang ada dan merangkainya menjadi sebuah informasi.
"Jen, cewek yang katanya kena bola itu ... Heejin?"
Jeno menoleh ke arahku. Ia mengangguk mantap. "Iya. Tuh, pawangnya yang ngeberesin."
Jawaban Jeno membuatku terdiam.
Jadi ... yang di ruang kesehatan itu ...
Perlahan, bola mataku bergerak mengganti obyek pandangan. Aku menatap lurus ke depan.
Seperti itu, aku dan sosok di hadapanku bertemu pandang.
Dia ... sengaja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aoratos | Jaemin
FanfictionHanya sebuah cerita singkat yang menegaskan bahwa tidak semua rasa suka harus berakhir bersama Dan tidak semua tokoh utama punya cerita yang berakhir bahagia "Gak usah kepedean. Dia baik sama semua orang." ©2018