2. titipan

13K 2.4K 210
                                        

"Jen! Tolong kasih Renjun, ya?"

"Jen, Jen! Kasih Jeno, ya?"

"Jeni!! Titip buat Haechan, dong!"

"Jeniku sayang, kasiin Jaemin, ya?"

"Jeni!"

"Jeni!"

"Lee Jeni!"

Aku menumpukan kepalaku di atas meja. Kalau sudah jam istirahat begini, semua orang dari seluruh penjuru sekolah akan datang ke tempatku untuk menitip ini dan itu. Mulai dari surat, coklat, kue, sampai barang-barang yang tidak kuketahui isinya pun ada. Aku sampai harus membuat tulisan "Simpan Saja" di atas kertas saking malasnya menjawab mereka. Kadang tumpukan barang-barang itu sampai membuatku tidak terlihat dari depan.

"Buka jastip sekalian deh, Jen! Untung tuh pasti!" saran Somi—teman yang duduk di depanku—sembari memakan keripik kentangnya.

"Sembarangan."

"Lah, dikasih tau juga. Hari gini mana ada sih, yang gratis? Belok aja bayar. Setiap hari loh ini, Jen! Nggak usah banyak-banyak. Nih ya, misal satu orang bayar lima ribu, sepuluh orang aja lo bisa dapat lima puluh ribu. Dua puluh bisa seratus ribu, empat puluh bisa—"

"Maruk, ah," potongku.

"What? Duh, Jeniku sayang, jadi orang itu jangan terlalu baik, ih. Orang baik sama orang bego itu beda tipis, loh!"

Aku menggeleng. "I'll be the first one. Nggak apa-apa. Udah biasa jadi bayangannya si Jeno."

"Duh, jadi sedih." Kedua ujung bibir Somi tertarik ke bawah. "Ini deh, keripik kentang gue buat lo aja. Kasian lo nggak pernah ada yang ngasih apa-apa."

Aku hanya terkekeh pelan mendengar perkataan Somi. Yah, tidak apa-apa. Sedikit banyak dia ada benarnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap sekolah pasti punya siswa terkenalnya sendiri. Untuk sekolahku, karena saat ini kami telah berada pada posisi rantai makanan tertinggi, Jeno dan teman-temannya adalah sang tokoh utama. Dan aku, seseorang yang kebetulan—ditakdirkan—terlahir menjadi kembarannya harus berperan menjadi tokoh pembantu dalam kisah mereka. Salah satunya ya seperti ini, menjadi jembatan untuk para penggemar mereka.

Sepuluh menit sebelum jam istirahat berakhir aku akan menelpon Jeno untuk datang ke kelas dan mengambil hadiah-hadiahnya. Kalau tidak, para guru akan mengira bahwa aku ulang tahun setiap hari.

Ya, kami tidak sekelas. Aku berada di kelas XII-1. Jeno dan Renjun di kelas XII-2, Jaemin dan Haechan di kelas XII-3. Kalau mereka berempat datang, Somi akan pindah ke tempat lain untuk sementara. Tidak mau ikut-ikutan katanya.

"Siang, Mba Jeje!" sapa Haechan.

Aku hanya tersenyum simpul sebagai balasan. "Tuh, udah dipisah."

Jaemin dan Haechan sibuk menghitung punya siapa yang lebih banyak. Itu kebiasaan mereka setiap hari. Jeno biasanya duduk di tempat Somi lalu minta air minum atau sekadar minta tissue. Kadang juga pinjam pulpen. Dia memang tidak pernah awet dengan alat tulis itu. Katanya baru menengok sebentar, benda itu sudah lenyap dari atas mejanya. Lain lagi dengan Renjun. Dia tidak banyak komentar. Paling hanya memantau teman-temannya dan ikut pergi kalau memang sudah waktunya.

"Wets! Haha! Gue menang lagi nih, Masbro!" Jaemin terlihat bangga dengan pencapaiannya. "Besok McD fix lo yang bayar!"

Haechan mendecak. "Berisik. Mba Jeje ini nggak ada yang ketukar emang?"

Aku menggeleng. "Emang segitu."

"Udahlah, Chan." Jaemin menepuk pundak Haechan. "Terima aja. Fans gue lebih banyak dari pada fans lo."

"Bacot. Baru juga tiga hari."

"Dih? Mau banget gue ingetin? Minggu lalu gue menang tiga kali, terus minggu lalunya gue menang empat kali, terus minggu lalunya lagi lima kali, bulan lalu gue—"

"Jen, kalau disuruh pilih, lo bakal milih gue atau Jaemin?" sambar Haechan.

"Milih Renjun," jawab Jeno.

"Yeee! Gue nggak nanya lo semprul! Maksud gue Jeni!"

"Eh?" Aku tertegun. Kenapa juga tiba-tiba melibatkanku dalam persoalan tidak penting mereka? Maksudku, kalau disuruh pilih kan, jawabannya sudah jelas!

"Ya pasti gue lah! Ya nggak, Jen?" Jaemin menaik-turunkan alisnya.

Iya.

"Tck, kosong banget lo berdua. Balik balik!" Jeno berdiri, mengambil bagiannya lalu pergi lebih dulu.

Jaemin dan Haechan saling bertukar pandang lalu mengedikkan bahu. Pada akhirnya mereka juga menyusul tepat di belakang Jeno. Lalu Renjun—

"Harusnya lo tolak aja. Nggak bosan apa gini terus setahun?"

—pergi tanpa memberiku kesempatan untuk bicara.

Aku menghela napas. Renjun itu, kadang aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya.

"Dih, si Koko kenapa deh? Galak banget mukanya. Emang bagiannya dikit?" tanya Somi setelah mereka berempat sudah meninggalkan kelas kami.

"Jangan ngawur. Sebenarnya, di antara mereka berempat, bagian Renjun yang paling banyak."

"Ow, seriously? Aih, gue nggak tau ini semacam berita baik atau malah berita buruk."

Aku terkekeh. Somi itu salah satu penggemarnya Renjun. Tapi tidak seperti yang lain yang suka titip ini-itu padaku, Somi adalah pemain profesional. Toh, mereka berdua tetangga. Level Somi sudah bukan di sekolah, tapi langsung mendekati sang Bunda.

"Loh? Mereka udah balik?"

Aku dan Somi menengok ke sumber suara. Heejin berdiri dengan napas yang masih terengah-engah.

"Well, as you can see, mejanya Jeni udah bersih. Masih ada yang perlu ditanyakan?"

"Yah," Heejin terlihat kecewa. "padahal gue udah buru-buru ke sini."

"Whoops! Sayang sekali ya, Mba Heejin. Temen gue udah close order. Barang-barangnya udah diantar. Baru aja kurirnya pergi. Silakan ikut periode berikutnya."

"Tolong, dong! Cuma satu, kok! Kal—"

"Heh, kasih sendiri aja sekalian!"

"Som!" tegurku. Somi ini sedikit banyak memang tidak suka pada Heejin. Aku tidak tau masalah mereka berdua apa. Somi belum pernah cerita.

"What? Am i right or am i right?"

Tidak memedulikan Somi, aku beralih pada Heejin. "Ya udah, mana barangnya? Mau dikasih ke siapa?"

Rahang Somi jatuh seketika. Air mukanya jelas tidak terima. Tapi aku berhasil membuatnya tidak bicara lewat tatapan mata.

Heejin spontan berubah ceria. Ia mengeluarkan sebuah kotak dari saku roknya. "Ini! Makasih banget ya, Jen! Gue balik ke kelas dulu. Udah mepet banget soalnya." Heejin menjabat tanganku lalu berlari keluar kelas.

"Ih, Jeni kok gitu?!"

"Kasian, Som."

"Kan lo udah close order!"

"Ini bukan jualan, Somi."

Somi memijat batang hidungnya. "Ya udahlah! Asal jangan jadi orang bego aja." Somi berbalik dan menghadap ke depan bersamaan dengan berderingnya bel masuk dan masuknya Mr. Kim.

Aku berniat memasukkan kotak kecil yang terbungkus rapi dari Heejin itu ke dalam tas. Sampai aku membaca kepada siapa kotak itu dituju.

Na Jaemin.


Aoratos | JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang