Jaemin menyandarkan punggung ke jok, terlalu lelah untuk waktu yang masih terbilang sangat pagi. Peluh di pelipisnya sudah menipis, tapi entah kenapa semakin lama dia malah merasa semakin miris. Rasanya seperti energinya nyaris terkuras habis, entah karena tadi berlari ke dalam, atau karena ada yang baru saja pergi ke luar.
Atau mungkin, karena keduanya?
Entahlah. Jaemin tidak tahu. Mendapatkan jawabannya pun tidak akan berdampak apa-apa. Semuanya sudah berlalu. Yang tersisa padanya saat ini hanyalah penyesalan dan rasa bersalah yang cukup mengganggu.
Menghela napas lelah, Jaemin mengeluarkan secarik foto lama dari dalam dompetnya. Kalau tidak salah ingat, foto itu diambil sekitar dua tahun yang lalu setelah acara penerimaan rapor di tahun pertama semester kedua alias hari terakhirnya sebagai siswa kelas satu SMA. Di foto itu, berbaris lima anak manusia, tetapi mata Jaemin hanya terfokus pada yang paling cantik di antara mereka—karena memang hanya ada satu anak perempuan di sana. Kedua ujung bibir Jaemin otomatis bergerak ke atas mengikuti bentuk senyumnya yang tidak terlalu lebar tapi juga tidak terlalu datar, salah satu ciri yang sangat melekat erat pada sosok anak perempuan itu.
Ingatannya kemudian terbang ke masa dua belas tahun silam, ke hari saat dia bertemu dengan Jeni—dan juga Jeno—untuk pertama kali. Usia mereka kala itu masih sangat muda, tapi terima kasih pada kemampuan mengingat Jaemin yang luar biasa hingga sampai saat ini, semua kejadian di hari itu masih tersimpan baik di memorinya.
• Aoratos •
12 tahun yang lalu ...
Jaemin tidak tahu sudah berapa lama dia memandangi gadis kecil yang berdiri sekitar tiga meter di hadapannya. Lima menit? Sepuluh menit? Entahlah. Dia bahkan masih belum tahu betul cara menghitung waktu dengan baik dan benar. Yang dia tahu, gadis itu sudah berdiri di sana cukup lama, lebih lama dari waktu yang Jaemin habiskan untuk memandanginya.
Jaemin ingat bahwa gadis itu masih belum bergeser dari posisinya sejak saat dia merasa lapar dan meminta Mama membelikan sosis goreng di depan taman, memakan sosis yang Mama belikan dan kenyang, hingga dia sudah kembali lapar lagi sekarang. Mungkin, seandainya saja rambut gadis itu tidak bergerak karena tertiup angin, Jaemin bisa saja mengira bahwa yang sejak tadi dilihatnya tidaklah lebih dari sekadar patung berbentuk manusia.
Jadi, setelah meminta Mama untuk membelikan sosis goreng yang kedua kalinya, Jaemin memutuskan untuk menghampiri gadis itu.
"Sebenernya apa yang bagus dari pohon itu?" tanya Jaemin ketika sudah bersisian dengan oknum yang sejak tadi dipandanginya, ikut melihat ke arah yang sama dengan si lawan bicara.
"Nggak ada," jawabnya.
"Terus kenapa?"
"Apanya?"
"Kenapa nggak gerak-gerak dari tadi? Kenapa di sini terus? Kamu nggak lagi kesurupan setan penunggu pohon ini, kan?"
Merasa bingung, gadis itu menoleh ke arah Jaemin. "Kamu siapa?"
"Jaemin."
"Jaemin siapa?"
Kini Jaemin juga ikut menoleh, membalas tatapan gadis di sebelahnya yang menurutnya, memiliki mata yang indah. "Kamu dari tadi ngelihatin apa?"
Seperti tidak keberatan dengan fakta bahwa pertanyaannya tidak dijawab, gadis itu tetap menunjuk satu titik pada pohon di depannya. "Balonnya nyangkut. Udah ditungguin dari tadi tapi belum turun juga."
"Terus kenapa nggak ditinggal aja?"
"Nanti jadi nggak punya balon."
"Kan bisa beli lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aoratos | Jaemin
Fiksi PenggemarHanya sebuah cerita singkat yang menegaskan bahwa tidak semua rasa suka harus berakhir bersama Dan tidak semua tokoh utama punya cerita yang berakhir bahagia "Gak usah kepedean. Dia baik sama semua orang." ©2018