6. pulang

8.7K 2K 221
                                        

Jika biasanya aku akan menunggu Jeno di gazebo, lain halnya dengan hari ini. Jeno sudah pulang—dipulangkan—lebih awal karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan untuk tetap mengikuti jam pelajaran.

Sebenarnya sejak pagi aku sudah melarangnya untuk pergi ke sekolah, tapi dia tetap bersikeras untuk alasan yang tidak kuketahui apa. Akhirnya dengan izin Bunda kami berdua berangkat seperti biasa. Namun tidak ada angin tidak ada hujan, dia tiba-tiba sudah di rumah. Dan yang lebih mengesalkannya lagi, tidak ada yang memberitahuku hingga jam pulang tiba.

"Makasih ya, untuk kabar buruknya," sindirku.

Dari sini aku dapat mendengar Jeno sedang terkekeh di seberang sana. Aku berani bertaruh jika kedua matanya pasti sedang menyipit saat ini. "Sorry, Jen. Soalnya gue nggak mau lo kepikiran, jadi gue bilangin anak-anak biar diem aja."

"Iya, bagus. Temannya dikasih tau, saudaranya sendiri nggak. Nggak sekalian ganti keluarga aja?"

"Kalau gue bilang, pasti lo mau ikutan pulang."

"Kata siapa?"

"Biasanya kan gitu."

"Alasan."

"Ya ampun, iya, maaf."

"Hm."

"Jangan cemberut di jalan. Nanti orang kira lo lagi ribut sama pacar."

Aku menghela napas sembari memijat batang hidungku. "Mau nitip sesuatu?"

"Nggak usah. Di rumah ada Bunda. Lo pulangnya bareng anak-an—"

"Ojek."

"Nggak boleh."

"Yang sakit diam aja."

"Tck, ampun deh, gue! Itu ada yang gratis kenapa cari yang bayar, sih?"

"Nggak ada yang searah, Jeno. Kasian, ah."

"Bodo."

Tut!

Sambungan diputuskan sepihak.

Kurang ajar.

Jeno tidak pernah senang dengan ide Jeni-pulang-sendiri atau Jeni-pergi-sendiri. Intinya, dia tidak suka jika aku harus berpergian dengan orang yang tidak ia kenal, tidak terkecuali tukang ojek dan supir taksi. Kami terlalu terbiasa bersama, sejak kecil yang masih diantar Ayah ke sekolah hingga kini saat ia sudah bisa berkendara. Banyak orang jahat katanya.

Tapi siapa peduli? Dia kan tidak ada di sini.

Aku membuka aplikasi ojek online dan hendak memesan. Aku masih mengatur tempat tujuan saat seseorang berhenti di depan halte.

Siapa? Perasaan belum pesan.

Aku baru sadar bahwa dia juga anak SMA saat ia membuka helm full facenya. Aku mengenal orang ini.

Huang Renjun.

"Lo ngapain?" tanyanya sambil merapikan rambut di kaca spion.

"Cari kendaraan buat pulang," jawabku pelan. Jujur, aku masih sedikit takut dengannya sejak kejadian di dapur tempo hari.

"Oh, mau naik apa emang?"

Aku memperlihatkan layar hpku pada Renjun. Ia mengangguk samar lalu turun dari motornya. Renjun mengambil tempat sekitar satu meter di sebelahku lalu duduk dan memainkan hpnya.

Dia sebenarnya mau apa?

Ya, aku ingin bertanya. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, untuk apa? Yang berteman dengannya itu kan Jeno, bukan aku. Takdir kami hanya kebetulan bersinggungan karena dia mengenal Jeno, bukan karena memang benar-benar mau mengenalku.

Aoratos | JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang