12. setelah kelulusan

8.6K 2K 278
                                    

Aku sedang sibuk membereskan dapur ketika hpku berbunyi di atas meja pantry. Sayangnya, tanganku hanya ada dua. Dan dua-duanya kini sedang bekerja.

"Jen! Tolong angkatin dulu! Speaker aja!" teriakku.

Jeno datang. "Lah? Si Haechan?"

"Angkat, Jeno. Jangan diliatin doang."

Jeno menurut. Lalu, terdengarlah suara Haechan.

"Bebebnya acu, kita-kita udah di luar, nih! Bukain pintunya, dong!"

Aku bahkan belum sempat menoleh tapi-

"HEH, NYET! APAAN LO BAB BEB BAB BEB HAH!"

-Jeno sudah mengamuk. Aku hanya bisa tertawa sambil menggeleng. Jeno itu, kalau Jaemin atau Renjun yang seperti itu saja, pasti dia dukung. Giliran Haechan, aku tidak mengerti kenapa dia sensi sekali.

"Hih! Kenapa jadi lo yang ngangkat dah? Gak salah nelpon kok gue. Etapi terserahlah. Bukain kampret! Ngundang orang tapi pintunya dikunci. Gimana sih, lo?"

Jeno langsung pergi meninggalkan dapur tanpa memutuskan sambungan terlebih dahulu. Haechan sampai bicara sendiri karena tidak tau bahwa lawan bicaranya sudah pergi.

"Chan, tunggu, ya. Jeno udah keluar," ucapku yang juga sudah selesai dengan urusanku.

Satu minggu lebih telah berlalu sejak hari terakhir kami melaksanakan ujian nasional. Beberapa hari belakangan ini Jeno dan teman-temannya sibuk mengatur jadwal dan menghabiskan waktu bersama sebelum nanti akhirnya akan benar-benar fokus pada urusan mereka masing-masing. Jeno bilang, satu orang wajib mensponsori satu hari. Sebenarnya aku juga diajak. Tapi seperti yang bisa kalian tebak, aku jelas menolak.

Aku kan, hanya tokoh pembantu.

Haechan mendapat giliran pertama. Waktu itu acaranya di pantai. Aku masih ingat kata-katanya saat membujukku waktu itu. Akan ku beritahu, tapi jangan tertawa. Haechan kan, memang selalu asal bicara.

"My hunny bunny sweety Lee Jeni, ikut aja kenapa, sih? Lo itu kan my savior, Jen. Bahkan kalo bisa nih ya, di rapor gue tuh harusnya ada nama lo juga saking banyaknya lo bantuin gue selama ini. Gue cuma mau makasih doang, masa nggak mau? Kalau cuma sama mereka-mereka nanti rasanya malah kayak di padang pasir tanpa oasis, gersang tanpa sumber kehidupan."

Ya, seperti itu.

Aku tidak menambah atau mengurangi satu kata pun. Itu persis seperti apa yang ia ucapkan tempo hari. Tapi aku tetap menolak. Apa kata orang nanti jika melihat ada seorang anak perempuan di tengah-tengah empat anak orang laki-laki? Biarlah mereka berempat saja. Kan, memang seperti itu harusnya.

Selanjutnya giliran Jaemin. Jaemin ini sukanya main, jadi dia mengajak anak-anak yang lain ke TSB. Semua akomodasi dari pergi hingga pulang kembali Jaemin yang tanggung. Jeno bilang dia benar-benar tidak keluar uang sepeser pun. Bahkan uang titip alas kaki pun tidak.

Jaemin juga mengajakku. Katanya akan ada Heejin dan sepupunya juga, jadi aku tidak akan jadi satu-satunya perempuan di sana. Sayangnya, aku masih belum bisa melihat pasangan ini bersama. Maksudku, mataku sudah terbiasa, tapi perasaanku masih belum tertata. Aku berhasil menolak dengan bantuan Jeno.

Kalau Renjun beda lagi. Berhubung dia lulus SNMPTN, Renjun mengajak kami semua liburan sekalian di Ciwidey. Katanya dia lelah dengan panasnya dunia, jadi butuh pendinginan untuk jiwa dan raga. Otaknya juga butuh disegarkan setelah lama berkutat dengan berbagai macam pelajaran. Awalnya rencana liburan ini sekitar 4 hari 3 malam karena ada banyak tempat yang bisa dikunjungi. Tapi karena aku-lagi-lagi-menolak untuk ikut, liburan mereka berkurang menjadi 3 hari 2 malam.

Aoratos | JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang