Tok! Tok!
Ketukan pintu membuyarkan konsentrasiku pada buku yang terbuka di hadapanku.
"Jen, lagi nggak ganti baju, kan?" teriak Jeno dari luar.
"Nggak. Masuk aja."
Suara deritan pintu yang dibuka lalu ditutup terdengar. Jeno masuk dan membuang diri ke atas tempat tidurku.
"Pelan-pelan, ih. Pernya nanti rusak. Nggak punya kaca di kamar, ya?"
"Gue nggak seberat itu."
"Tapi juga nggak seringan itu."
Jeno tak acuh. "Belajar mulu. Nggak bosen?"
"Yang namanya siswa itu tugasnya ya belajar. Kalau jualan namanya pengusaha."
"Ha ha."
"Kenapa?"
"Nggak lucu."
"Emang nggak lagi ngelucu."
Jeno mengubah posisinya yang tadinya terlentang menjadi miring menghadapku. "Sini dulu, kek."
Aku melirik Jeno sejenak. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia ceritakan. Kasihan juga kalau kutolak.
Aku menutup buku-bukuku dan beranjak dari meja belajar. "Sana, geseran."
Jeno menurut. Ia bergeser hingga memberi ruang yang kira-kira cukup untuk kutempati. Kami berdua kini berbaring di atas tempat tidur sembari menatap langit-langit kamar.
Beberapa sekon berlalu, Jeno masih memilih bisu. "Kok diem?"
Ia menghela napas. "Jen, ini tentang Yena," ucapnya pelan.
"Hm? Kenapa?"
"Gue tadinya mau nembak dia."
"Oh, jangan."
"Loh? Kenapa?"
"Nanti mati."
Jeno terkekeh. "Jayus banget. Pengen gue tendang dari kasur."
"Cukup tau diri aja. Yang numpang kan, situ."
"Lanjut nggak, nih?"
"Monggo."
"Tapi gue ragu."
"Kenapa? Kayaknya kalian baik-baik aja. Ada orang lain?"
"Ada."
"Siapa?"
"Lo."
Aku menoleh dan mendorong kepala Jeno dengan telunjukku. "Jangan incest. Dosa."
"Yeee, bukan itu, Jeni."
"Ya terus apa, Jeno?"
"Kalau dia nerima gue gimana?"
"Ya bagus. Emang situ mau ditolak?"
"Nggak maulah. Malu dong, gue! Masa seorang Lee Jeno ditolak?"
"Jangan sok kegantengan, Mas."
"Emang menurut lo gue jelek?"
"Mungkin nggak."
"Kok mungkin?!"
"Standar orang kan beda-beda. Contohnya, lo bukan tipe gue. Tapi hal itu nggak menutupi fakta kalau penggemar lo ada di mana-mana."
"Akuin gue ganteng aja susah banget emang ya, Jen?"
"Ceritanya bisa dilanjut aja?"
Jeno terkekeh. "Gue seriusan mikirin hal ini. Kalo kita jadi, nanti lo gimana?"
"Maksudnya?"
"Kalo gue punya pacar, lo yang jagain siapa? Kan lo jomblo, Jen."
"Yang barusan itu ungkapan kekhawatiran atau penghinaan?"
"Dua-duanya. Hehe."
"Jangan maruk. Pilih satu aja."
"Yang buat lo seneng yang mana?"
"Nggak dua-duanya."
"Tuh, maruk juga."
Gantian aku yang terkekeh. Dasar Jeno bodoh. Untuk apa juga dia memikirkan hal seremeh itu? "Sekarang gue tanya. Kalau disuruh pilih, gue atau Yena?"
"Ya lo ke mana-manalah! Gila aja pertanyaannya!"
"Woles. Nggak usah ngegas."
"Ya abis pertanyaan lo gitu banget."
"Tapi makasih. Gue tersanjung, loh!"
"Kalo aja nggak ada Bunda di rumah, kayaknya gue udah beneran nendang lo ke bawah deh, Jen."
Aku mencolek-colek pipi Jeno. "Cie malu."
"Tck. Kenapa, sih? Nanya gitu faedahnya apa?"
"Nanya aja. Karena, kalau gue jadi lo, gue belum tentu punya jawaban yang sama."
Jeno bangun dari posisi baringnya. Kini ia duduk bersila dengan jurang di tengah-tengah alisnya. "Seriusan? Demi apa lo lebih pilih orang lain dari pada gue, Jen?"
"Tergantung."
"Kalo gue sama orang yang lo suka tenggelam, lo bakal nolongin siapa?"
"Dia."
"Kok lo gitu?!"
"Kan lo bisa berenang, Jeno."
"Yeee! Kan ceritanya nggak gitu."
Aku mendengus geli. Jeno tampak cemberut saat ini. "Intinya, gue nggak bisa sespontan itu untuk yakin lebih milih lo dari pada orang lain kalau gue nggak tau situasinya kayak gimana. Sedangkan lo, dengan mudahnya ngejawab bakalan milih gue ketimbang orang yang lo suka. Padahal, bisa aja kan, pada suatu situasi, gue adalah pihak yang salah."
Jeno menggaruk pelipisnya. "Em ... Oke. Jadi, poinnya apa?"
"Lo nggak usah khawatir soal gue. Karena gue udah tau kalau lo sesayang itu sama gue. Jujur, gue nggak tau manfaatnya lo pacaran juga apa. Tapi kalau lo emang mau, ya silakan. Nggak usah mikirin gue. Gue bisa jaga diri. Buktinya selama dua tahun kita pisah kelas, gue baik-baik aja. Waktu lo sakit juga gue bisa sampai rumah tanpa ada luka. Sadar atau nggak, tapi gue bukan tipe orang yang harus dikhawatirkan sampai sebegitunya. Apa selama ini Lee Jeni pernah berbuat yang aneh-aneh?"
Jeno tidak langsung menjawab. Ia terlihat berpikir sejenak. Namun sekon berikutnya ia sudah mengangguk. "Tapi tetep aja. Lo kan cewek."
"Emang cewek. Kalau cowok namanya bukan Jeni, tapi Jeno."
"Halah, bisa aja ngejawabnya."
Aku membentuk tanda OK dengan jari-jariku, meyakinkannya bahwa dia benar-benar tidak perlu memikirkan tentang aku. Tokoh pembantu sepertiku tidak boleh menjadi penyulit cerita seorang Jeno.
Kini Jeno bertumpu pada salah satu tangannya. "Jen, emangnya ... lo nggak punya orang yang lo suka?"
Aku meliriknya. "Masih perlu ditanya?"
"Jawab aja, sih."
"Punya."
"Hhh ... Sudah gue duga. Gue udah curiga dari lama. Dia—"
"Nggak usah dibahas."
"Loh? Kenapa?"
"Kan awalnya yang mau curhat situ."
"Jen, lo kalo suka sama temen gue bilang aja kenapa, sih? Biar gue bantuin."
"Nggak perlu."
"Nggak perlu gimana? Lo mana bisa ngurus ginian sendirian?"
Aku tersenyum. "Masalahnya, teman lo nggak suka sama gue. Jadi buat apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Aoratos | Jaemin
FanfictionHanya sebuah cerita singkat yang menegaskan bahwa tidak semua rasa suka harus berakhir bersama Dan tidak semua tokoh utama punya cerita yang berakhir bahagia "Gak usah kepedean. Dia baik sama semua orang." ©2018