Mari bercerita sebuah kisah, kisah ku. Perindu yang termengu dengan ragu diam-diam mengagumi dalam sunyi.
Tidak berani mengungkapkan hanya menyimpannya dalam kenangan itu pun letaknya sangat jauh, jauh sekali hingga tak ada orang yang mengetahui, entahlah sejak kapan rasa itu mulai ada mengagumi tak pernah sekonyol ini, sebelumnya.
Sejak pertemuan itu sepertinya semesta memang telah mengatur segalanya aku hanya bisa mengagumi, sedang kau bersolek kepada yang lain, mengagungkan diri sebagai philogynik sejati.
Bukankah itu kodrat seorang gadis? Mengagumi dengan sunyi seperti Fatimah yang diam-diam mengagumi Ali cinta sejatinya dan merapalkannya dalam doa, ku harap kekuatan doa ku bisa seperti Fatimah, tapi tetap saja bukankah kau tak bisa memilih dengan siapa setengah semesta mu akan kau bagikan.
Tak ada yang pernah tahu pasti tentang masa depan, bukan? Maka buanglah jauh-jauh perasaan memiliki itu, (tapi tetaplah berdoa jika kau mau, tenang saja itu gratis) biarkan ia mengembara lalu menemukan rumahnya sendiri pun juga, Aku membiarkan rasa ini memenuhi seluruh ruang hingga begitu sesak saking menggebu-gebunya atau mungkin masih ada perasaan orang lain yang tertinggal hingga begitu sesak.
Oh Tuhan plin-plan sekali aku ini tak pernah tegas dalam menentukan, ini membingungkan juga meragukan.
Tapi tidak, tidak segalanya tidak perlu ditanyakan lagi, tak perlu diragukan lagi memang dirimu yang telah memenuhi ruang itu, ruang yang selama ini ku biarkan kosong walau pernah terisi sesekali tapi tak pernah semenyesakkan ini, mengagumi mu mebuat ku candu pun memabukkan.
Aku memang mabuk, mabuk akan kata-kata mu yang ternyata hanya ilusi semata, ingin rasanya aku lebih lama mabuk, lalu memeluk mu membalas setiap kata indah mu dengan senang hati, sembari memuji dan berkata "Terimakasih, kekasih" Tuhan, tak bisakah waktu kau bekukan semakin lama? karena jika aku tersadar aku harus mengikhlaskan segalanya.
Bangun ke dunia nyata dan menyadari bahwa kita tak pernah lebih dari sekedar kata "Teman".
Mungkin menurut mu aku begitu egois, bahkan setelah membaca ini kau akan semakin menganggap ku orang ter-egois di muka bumi ini, ah sudahlah segalanya tak pernah ku hiraukan lagi semenjak saat itu bahkan ketika telinga ku telah panas mendengar kabar buruk tentang mu.
Sama seperti bulan yang selalu menganggap matahari segalanya, ya bulan selalu menerima segalanya dengan ikhlas. Bertopang kepada matahari tanpa matahari bulan tak akan bisa bersinar seindah itu menghiasi malam yang begitu kelam, mengobati manusia sepi setiap hari dengan keindahan sinarnya.
Apalah daya bulan itu tanpa matahari yang ada hanyalah permukaan yang tak rata dan gelap, ia begitu rapuh.
Tapi tidak dengan matahari ia begitu gagah berani, terkadang bisa begitu kejam terhadap awan dengan berusaha tetap menyinari walau terasa sulit, ia tetap berusaha hingga akhirnya awan menyerah dan mendatangkan hujan di lain waktu. Berbeda 360º dengan bulan, lalu salahkah jika ku menganggap mu demikian? mengagumi mu memang begitu candu dan memabukkan Tuan.
YOU ARE READING
Tuan Matahari dan Nona Bulan
Teen FictionApakah kau tahu? Bulan selalu membutuhkan sinar matahari lebih dari apapun, tanpa sinar matahari bulan tak akan pernah bertengger di atas langit dengan begitu indah. Sama dengan Nona Bulan, ia begitu rapuh. Menganggap Tuan Matahari adalah segalanya...