13

6 1 0
                                    

Terkadang kita lebih memilih untuk melakukan apa yang kita anggap benar kepada orang lain,  tanpa berkompromi pada orang lain itu, dia suka atau tidak atas apa yang kita lakukan.

Aku mencoba membaca kembali email pertama darinya beberapa tahun lalu.

Dari : aninnondiap@gmail.com
Kepada : danipermana@gmail.com
Tanggal : 17 Februari 2017

(tanpa subjek)

Hai, bagimana Hegen? Pasti senja disana lebih bagus ya daripada disini. Aku sudah menerima pesan whatsapp dari mu. Maaf, sudah merepotkan mu selama ini, terimakasih ya sudah memperbolehkan aku menjadi bagian dari mu. Pasti kamu kaget darimana aku tahu kamu ke Hegen, Ibumu memberitahu ku. Setelah kamu mengirim pesan whatsapp mengatakan kalau hubungan kita sudah cukup sampai disini dan kamu juga tidak datang ke restoran itu. Aku sudah menunggu selama sejam, kamu hebat ya. Aku jadi membenci senja karena mu, kalimat perpisahan itu kamu katakan di saat matahari memang sudah kembali ke peraduannya.

Semoga kita bisa menemukan kebahagiaan, kita masing-masing ya! Tidak usah hiraukan aku, aku masih Anin yang sama. Anin yang tidak mudah menangis, walau seberat apapun masalahnya. Terima kasih 3 tahunnya.

Bagaimana mungkin, aku bisa sejahat itu dulu. Meninggalkan dia, tanpa sebab.

Andai waktu itu ada cara lain, agar hubungan ku dengan Anin tidak perlu berpisah seperti ini. Mungkin sekarang, hubungan ku tidak serumit ini, atau mungkin jika memang kami ditakdirkan berpisah akan lebih mudah aku masuk ke dunianya kembali.

Salah ku yang memutuskan untuk mendua.
Ku kira pelarian ku dikala jenuh, lebih membahagiakan. Ternyata aku salah, aku memaksakan diriku untuk mencintai orang lain padahal perasaan ku masih sama.

Pergi di saat jenuh dan mencari pelarian ternyata bukan penyelesaian yang baik.

Ternyata orang paling sering aku abaikan adalah orang yang paling aku rindukan.

Walau aku tahu kali ini akan terasa lebih sulit mengetuk pintu hati yang selama ini sudah tertutup begitu lama, aku kembali menjadi orang asing.

Bizz....bizz

Anin : hari ini jadikan nonton konser?

Dani: iya jadi, aku berangkat ke rumah kamu ya. See u

Anin: oke

Untuk sekarang aku tak berharap banyak dari hubungan kita, cukup dengan berteman seperti ini.

Pikiran ku melayang ke beberapa bulan lalu, gadis itu menangis kembali di hadapan ku. Entah rencana apa yang semesta kirimkan pada kami, kami dipersatukan saat salah satunya telah rapuh. Selalu seperti ini.

"Halo, kamu ada waktu ga hari ini?" ucap ku memberanikan diri

"Maaf ini siapa ya?" balasnya dari seberang telepon yang lain

"Aku Dani, ketemuan di tempat biasa ya"

Aku memutuskan telepon tanpa menunggu jawabannya, menunggu jawabannya sama saja membiarkan diri sendiri tertusuk.

Aku menunggunya di tempat biasa,  dua jam berlalu begitu cepat.

"Hai" sapanya, aku menghentikan keinginan untuk beranjak pergi dari tempat duduk dimana aku menunggunya

"Hai, kirain kamu ga bakalan dateng"

Baju yang ia kenakan masih terbayang persis di otak ku. Betul memang kamu adalah kata kerja tersibuk di kepala ku.

"Dateng kok, makasih udah mau nunggu"

"Selalu" jawab ku mantap, meyakinkan diri sendiri hanya dia yang aku tunggu

"Gapapa, ich vermisse" aku berkhayal rinduku akan bersambut tapi sekeras apapun mencoba tak pernah berhasil"

"Oalah"

Dia menjawab seoalah diantara kita tak pernah terjadi apa-apa

"Waktu aku di Jerman kamu ngapain aja? Pertama kali kita ketemu kan kamu jutek banget"

"Belajar buat ngelupain kamu, belajar buat jatuh Cinta lagi dan berhasil"

Deg. Belajar melupakan ku dam berhasil jatuh cinta kembali, ternyata aku memang dungu mengharapkan dia kembali.

"Bagus, selamat ya. Terus sekarang gimana?"
Aku sebisa mungkin menahan kesedihan yang terpancar dari muka ku

"Ya ga gimana-gimana"

Aku tahu dia sedang berbohong

Aku hanya diam saja kala itu menunggu seraya berharap dia melanjutkan ceritanya

Air mata mulai keluar dari matanya

"Ahh, Dani. Aku memang berhasil jatuh cinta kembali, tapi dia pergi tanpa pamit. Apa aku memang tidak pernah layak mendapatkan perasaan dari siapapun, kamu juga dulu seperti itu"

Aku kehabisan kata, aku benar-benar dia kali ini hanya memandanginya lekat.

Barangkali kita memang ditakdirkan seperti ini,  hanya boleh menyembuhkan luka masing-masing, tapi tak pernah bisa bersatu.

"Aku minta maaf kalau aku pernah begitu juga, tapi aku yakin kalau dia sungguh-sungguh dia tak pernah punya alasan untuk pergi"

Gadis yang cintanya tak bisa aku rengkuh kembali, air mata mu jangan kau buang percuma.

"Makasih ya''

Senyumnya kembali merekah, air mata dia usap menyisakan bengkak disana-sini

"Nah gitu, senyum"

Dia hanya mengangguk perlahan

"Sekarang kita temenan lagi kan" aku mengulurkan tangan tanda memulai kembali apa yang pernah aku sia-siakan

"Semoga, asal kamu jangan suka ngilang"

Sejujurnya aku senang dia mau menerima ku kembali menjadi teman.

"Makasih ya"

Aku tahu mungkin apa yang aku lakukan salah. Tapi, setidaknya aku mencoba menebus kesalah yang pernah aku perbuat

"Aku yang harusnya makasih"

Tringg...tringg

Suara telpon masuk membuyarkan lamunan ku,  bisa ku tebak ini pasti Anin

Kamu dimana?

Bentar ini lagi ngeluarin motor

Oh yaudah. Hati-hati

Iya

Bye

Bye

Aku tak mendeklarasikan apa yang aku lakukan benar atau salah, tapi yang aku tahu. Hanya Anin yang aku inginkan untuk saat ini.

Tuan Matahari dan Nona BulanWhere stories live. Discover now