Malam terasa begitu sepi, aku balik ke rumah begitu malam. Setelah perkuliahan yang begitu padat, adik-adik ku telah tertidur lelap. Aku memutuskan untuk tidur di kamar utama bersama Ibu selagi Ayah belum kembali, Ibu masih sibuk mencari sesuatu menggeledah seisi kamar dengan cermat. Menaruh kambali barang-barang yang telah ia berantaki
"Ibu, boleh aku tidur disini bersama ibu?"
"Kamu sudah baligh, masih saja ingin begumul dengan ibumu ini
"Ah...... Ibu" dengusku kesal
"Yasudah ambil posisi di kasur sana"
Aku membaringkan diri di kasur, mengambil posisi paling pojok
"Ibu, kenapa ibu rela terluka berkali-kali demi Ayah?"
"Ibu pun tidak tahu nak, tapi yang ibu tahu Ayah mulah yang membutuhkan ibu. Mana mungkin dia dapat mengurus urusan kontrakan, rumah juga tambak ikan. Dia begitu sibuk dengan dunianya"
Banyak kesedihan yang terdengar dari suara Ibu malam ini, aku mencoba mengalihkan pembicaraan sebisa ku. Aku terbangun dari rebahan ku yang singkat, berusaha duduk dibsebelah Ibu
"Tadi apa yang Ibu cari?"
"Ini" dia menyodorkan sebuah buku dengan sampul hijau dan begitu banyak wajah asing di muka buku itu, ada tulisan dibagian tengahnya 'Photo Album' sudah barang pasti, buku itu berisi foto-foto lama. Tapi untuk apa ibu mencarinya?
Ibu menunjuk pada foto dua insan yang sedang memakai pakaian adat kebesaran ayah ku mereka menampilkan raut wajah yang sangat bahagia, seperti seorang ibu dan ayah yang baru saja mendapat hadiah besar; anak
Ternyata itu adalah foto pernikahan Ibu dan Ayah ku
"Coba lihat Ibu dan Ayah mu begitu bahagia pada saat itu"
"Iya bu, mana ada orang yang menikah karena pilihan mereka sendiri menunjukkan penderitaan dari matanya. Tidak mungkin kan?"
Dia hanya menggeleng ke kanan dan ke kiri, celaka! pekikku kemudian. Aku salah berbicara kali ini.
"Ibu begitu mencintai Ayah ya?"
"Sangat, melebihi diri ibu sendiri. Kalau tidak cinta mana mungkin kakak, kamu dan adik-adik mu hadir ke dunia ini"
"Sampai sekarang?"
Ibu hanya membiarkan pertanyaan itu tanpa jawaban selama beberapa waktu kerutan di pinggir matanya mulai terlihat, wanita yang sedang duduk di sebelah ku ini menanggung begitu banyak penderitaan.
"Sekarang cinta Ibu telah terbagi sayang, ada kakak, kamu dan adik-adik yang juga harus aku beri cinta kalian juga berharga. Memberikan cinta kepada ayah mu juga tanggung jawab Ibu"
Dua puluh tiga tahun lalu, aku memutuskan menikah dengan seseorang, yang aku cintai, ia begitu sabar. Di setiap doa kepada Tuhan yang aku rapalkan hanya dia jawabnya berulang kali, diantara beribu ksatria yang datang kepada orang tua ku mengapa harus dia?
Aku Diana lahir dari rahim Ibu yang memiliki sepuluh orang anak, namanya Maimun dan suaminya Akam, aku anak ke-empat mereka. Kakak tertua ku Erna dia sudah menikah di umur lima belas tahun, dimana aku masih berumur sembilan tahun, otomatis segala urusan rumah dan adik-adik menjadi tanggung jawab ku karena Kakak kedua dan ketiga ku adalah laki-laki pantang laki-laki mengurusi urusan rumah di keluarga ku, mereka mengurusi urusan perbisnisan dengan Ayah ku Akam, kami hidup begitu sederhana di gubuk reot dekat kali.
Ibu bilang "tak apa hidup serba sederhana, asal jangan lupa berbagi" itulah yang diterapkan ibu di rumahnya, setiap kali Ayah kembali dari berdagang ikan di pasar, biasanya sisa ikan yang masih segar akan dibagikan ke tetangga atau ketika tidak ada sisa ikan, ibu mulai memberikan beberapa pundi keuntunganberdagang ayah kepada yang memang membutuhkan.
YOU ARE READING
Tuan Matahari dan Nona Bulan
Teen FictionApakah kau tahu? Bulan selalu membutuhkan sinar matahari lebih dari apapun, tanpa sinar matahari bulan tak akan pernah bertengger di atas langit dengan begitu indah. Sama dengan Nona Bulan, ia begitu rapuh. Menganggap Tuan Matahari adalah segalanya...