Helaan nafasku panjang, di depan pintu besar dengan gagang pintu dari stanless steel. Rumah ini sudah seperti neraka dua bulan belakangan, bukan, bukan tampak luarnya. Kulit luarnya masih tampak asri, ku akui para penghuni rumah ini begitu hebat. Pandai menyembunyikan.
Kubuka perlahan pintu rumah, tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Karena aku tahu jika aku mengucap salam pasti percuma, malah makin merusak suasana rumah yang sedang tegang, lebih tegang dari ujian-ujian tertulis di luaran sana. Kepala ku sembulkan terlebih dahulu dengan mataku yang mendelik kesana kemari, sekarang giliran seluruh bagian tubuh ku masuk tak ada seorang pun di ruang tengah, aku macam pencuri di rumah sendiri mengendap-endap, mengawasi setiap sudut rumah. Siapa tahu akan banyak diberondong pertanyaan aneh.
"Ah, seharusnya aku tidak menjual rumah di daerah L, menyesal aku pulang sepagi ini"
Suara itu terdengar dari kamar utama rumah ini, tempat dimana Ayah dan Ibuku tertidur pulas ketika penat mulai menyelimuti. Orang yang berdiri membelakangi ku dia adalah Ayah ku. Seorang lulusan S1 ekonomi, peranakan Jawa Tengah totok. Dia sering aku anggap pahlawan di keluarga.Panutan ku setiap aku ingin mengambil keputusan, sekarang sedang mengayunkan tangannya, ingin mendaratkannya ke pipi lembut ibu ku, tanpa aba-aba, insting ku sebagai anak langsung berlali kecil memeluk ibu ku, aku berusaha menjadi tameng perang baginya. Bertahan agar tak satupun bagian tubuhnya terluka, tubuhnya gemetar ketika ku peluk.
Ku pandangi matanya lekat-lekat merah lalu air mulai menetes dari pelupuk matanya, mengeluarkan emosi yang tersisa.
"Yah, jangan berani ngelukain Ibu. Pukul aku kalau ayah mau, asal jangan Ibu"
Bibir ku pucat pasi, gigi ku saling mengelatuk satu sama lain.Untuk pertama kalinya dalam hidup ku melawan kehendak ayah ku.
Ia akhirnya mengalah, memutuskan untuk membatalkan ayunan tangannya lalu meninggalkan kami berdua, menuju kamar tidur kecil, begitu jelas terdengar di telinga ku tangisan ibu yang semakin menjadi-jadi.
Hati juga sekujur tubuh ku seperti dihujam trisula berjuta-juta. Pedih.
Ku papah ibu menuju ke kasur empuknya. Meluruskan posisi tidurnya, mengecup keningnya menguatkan, mengisyaratkan bahwa ia tidak sendiri, ada aku disini yang turut menjaga ibu. Sungguh aneh rasanya mencium kening ibu ku, ini kali pertama aku melakukannya. Sebelumnya hanya mencium pipi itupun hanya saat aku ulang tahun atau ibu yang berulang tahun dan pada hari raya idul fitri, mungkin itulah mengapa aku menjadi pribadi yang kaku. Ku tunggu sampai air mata ibu mereda, lengan baju ku sampai basah menyeka setiap air mata yang keluar dari ibu juga aku, dengan sabar aku menunggu di pinggir kasur.
Berharap tangisannya hilang digantikan oleh senyuman, haii tunggu. Tersenyum, bahkan orang bodoh sekalipun tahu bahwa sulit sekali tersenyum dengan mudahnya di saat-saat seperti ini, tolonglah Anin jangan bermimpi di malam gelap, kau belum juga terlelap, kewarasan mu masih berjalan semestinya. Setelah tangisan itu mereda aku bertekad untuk bertanya menghilangkan kebimbangan ku.
"Ibu, kenapa masih bertahan dengan sikap Ayah yang seperti itu?"
"Banyak hal yang belum kamu ketahui nak, sebelum ia menjadi Ayah mu. Dia adalah suami ku, aku lebih tahu banyak tentangnya dibandingkan dengan dirimu"
"Tapi bu, gaada yang benar kalau begini" bela ku berusaha mempertahankan apa yang aku anggap benar
"Sudah, lebih baik kamu tidur. Ibu tahu kamu pasti lelah setelah berpergian"
Ibu, dia paling pandai menyembunyikan segalanya menerima setiap perlakuan ayah dengan sukarela, tanpa perlawanan yang berarti.
"Iya bu, selamat tidur. Jaga diri ibu"
Kukecup sekali lagi kening ibu, memastikan agar dia baik-baik saja ditinggal pergi aku ke lantai atasAku sempat berkeliling terlebih dahulu, melihat-lihat di lantai bawah apakah adik ku sudah tertidur lelap dan juga Ayah ku, biasanya dia akan tidur bersama adik ku yang laki-laki selepas bertengkar dengan Ibu, ya itulah rutinitasnya aku sudah hafal betul apa yang akan dia lakukan. Ku pandangi kamar adikku lekat-lekat adik dan ayah ku telah tertidur lelap, barulah aku menaiki tangga menuju kamar ku yang berada di lantai atas.
Ku keluarkan handphone dari tas ku memilih acak lagu beraliran rock yang aku miliki, pilihan ku tertuju pada my chemical romance-This is how i disappear berharap alunan musiknya dapat menghilangkan pikiran ku sejenak akan kejadian barusan. Kuambil earphone yang memang sejak lama ada di kamar ku, itu milik kakakku yang sedang merantau ke luar kota untuk kuliah, itu sengaja dia tinggal. Ribet katanya.
Aku menangis sejadi-jadinya bantal ku basah, bahkan bulan tak lagi bisa mengatasi kesedihan ku semenjak saat itu kepercayaan ku terhadap Ayah memudar, dia hanya orang yang perlu aku hormati, tidak lebih dari itu.
Layar handphoneku menyala ada nama Daffa disana, you make my day Tuan Matahari.
Daffa : Are u okay?
Anin : No, i'm not everything's getting worse and worse. I can't handle it
Hanya butuh menekan tanda kirim di sisi kanan layar, tapi niat itu ku urungkan, yang terkirim hanyalah tanda titik dua dan tanda tutup kurung
Daffa : i hope so, thank u for today. Good night! Nona Bula
Anin : u too. Terima kasih kembali Tuan Good night
Pesan singkat darinya seperti penghilang dahaga untuk hari ku yang buruk di penghujung malam.
Tak terasa pagi datang begitu cepat aku bersiap-siap berangkat kuliah, lalu menduduki kursi kosong di meja makan, kita bersama-sama makan pada satu meja makan yang sama. Seakan mimpi buruk itu tak pernah terjadi, bahkan ibu sedang sibuk menyiapkan bekal untuk ayah serta ketiga anaknya, sandiwara yang hebat. Mungkin jika ada piala citra keluargaku lah yang akan memenangkan semua kategorinya.
Tepat pukul 7 kami semua berangkat, Ayah ku menuju ke kantornya adik-adik ku ke sdnya dan aku menuju kampus bahkan ibu masih sempat-sempatnya mencium tangan Ayah, tangan yang hampir saja digunakannya untuk memukul ibu, halah persetan dengan semua drama rumah ini.
Seperti rutinitas ku setiap harinya tugas ku mengantar adik-adikku ke sekolah baru setelah itu aku pergi ke kampus, semua penghuni rumah larut dalam perjalannya masing-masing, kecuali ibu dia adalah ibu rumah tangga mengurusi segala keperluan rumah dengan cermat, walau bisa saja sebenarnya ibu bekerja tapi niat itu dia lupakan, katanya agar anak-anaknya lebih mengenal ibunya daripada pembantu rumah tangga.
YOU ARE READING
Tuan Matahari dan Nona Bulan
Teen FictionApakah kau tahu? Bulan selalu membutuhkan sinar matahari lebih dari apapun, tanpa sinar matahari bulan tak akan pernah bertengger di atas langit dengan begitu indah. Sama dengan Nona Bulan, ia begitu rapuh. Menganggap Tuan Matahari adalah segalanya...