9

28 5 0
                                    

Mana yang lebih kau pilih mengubur rasa yang terlanjur tumbuh atau mengubur masa lalu yang memiliki kenangan?

You have 1 new notification from gmail

Dari : danipermana@gmail.com
Kepada : aninnondiap@gmail.com
Tanggal : 25 juni 2019

Untuk Andromedaku,

Hagen terasa begitu dingin malam ini kekasih, hening terasa tak ada canda tawa ataupun lelucon yang begitu Indah didengar. Di Hagen hanya ada orang-orang borjuis tanpa senyum berusaha saling mengejar satu sama lain, aku rindu dengan Indonesia terutama kamu rumah ku kekasih, tempat aku berpulang. Bintang-bintang gemerlapan di langit Hagen setiap malam, kamu pasti akan suka. Banyak Bintang sirius disini seperti yang kamu ceritakan padaku. Perseus mu ini sungguh lelah menanti dalam sepi tak pernah ku temukan gadis sepertimu dimanapun, pengertian pun setia kepadaku. Tunggu aku kembali, duhai Andromedaku yang menyenangkan. Coklat disini begitu nikmat kekasih, akan ku bawakan coklat sebanyak yang aku bisa untuk mu kekasih.

Emosiku tercekik, udara terasa begitu panas dikamar padahal diluar sedang turun hujan yang bisa membuat banjir ibu kota malam ini. Bangku belajar yang kududuki saat ini juga terasa panas, melepuh. Masa laluku kembali singgah setelah aku mengirim e-mail berjuta kali, tanpa balasan. Ada apa gerangan dia kembali menyapa, tanpa kalimat "hai, apa kabarmu?" atau kata "maaf" sedikitpun. Terbuat dari batu kah hatinya itu?

Kini dia yang bodoh atau aku yang memang tak memahami maksudnya, dasar penjilat. Aku sudah hidup bergelimang kebahagiaan sekarang. Apa kau lupa bagaimana caramu mencampakkan aku? Amnesia kau dengan segalanya?

Ibu yang sedari tadi mondar-mandir antara ruang baca dan kamar ku yang letaknya sebelahan, lebih memilih menghampiriku dengan membawa satu buku yang dia suka baca berulang kali "jangan sebut aku bodoh" karya Al. Tridhonanto, buku panduan bagi orangtua untuk menemukan potensi anaknya.

"Apa yang terjadi anakku?" belaian seorang Ibu menyentuh rambutku yang kusut, belum disisir semenjak pagi.

Ku palingkan wajahku yang sudah terbenam ke dalam meja belajar yang terbuat dari particel board ke arah Ibu.

"Apakah ibu cepat memaafkan sesorang yang jahat terhadap ibu?''

"Ibu sebetulnya tidak suka, jika ibu bertanya dibalas dengan pertanyaan kembali" tegasnya setegas guratan di samping matanya ketika ia tersenyum

"Maaf bu, tapi ini pertanyaan penting untukku" suara ku mulai parau terdengar

"Well, kamu telah tinggal lama bersama ibu. Sudah barang pasti kamu tahu jawabannya''

"Ibu tidak pernah membenci, tidak pernah juga marah tanpa sebab lalu diam seribu bahasa hanya saja sulit mempercayai orang sama sepertiku" aku menjawab yakin

Ibu, dia role model sejak dulu dalam bagaimana ia bisa memaafkan seseorang dan dengan sabar serta ikhlas menerima segala rencana Tuhan yang ditunjukkan padanya juga keluarganya.

"Kamu juga pasti tahu nasihat yang selalu ibu rapalkan padamu beru......"

Ibu memang selalu memberikanku kata-kata bijak demi mengarungi kehidupan yang tak pernah ada henti-hentinya ini memberi kejutan.

"kalau ada orang jahat sama kita jangan bales jahat doain dia yang baik-baik, toh doanya juga balik ke kita, ikhlas yg penting. Tuhan juga tau harus negur org itu kaya gimana, Dia maha adil" tukas ku akan kalimat ibu yang belum rampung benar dia ucapkan

"Terus dengan kamu sulit memaafkan orang lain maka kamu tidak ada bedanya dengan dia"

Belaian rambut ibu tak ada henti-hentinya membuatku terkantuk

"Apa Ibu sudah memafkan Ayah?"

Aku tahu apa yang aku tanyakan begitu sensitif terhadap Ibu tapi dengan aku berpura-pura tidak tahu apa yang sedang terjadi sama saja aku diam-diam menjadi anak yang durhaka pada Ibu dan juga Ayah

"Selalu, walau dia tidak mengucapkan maaf sedikitpun. Ketika kamu menjadi istri juga akan mengerti, menurunkan ego itu perlu. Api tidak harus selalu dibalas dengan api, nak. Berbuat jahat sudah bukan zamannya sekarang orang-orang sudah banyak berbuat baik untuk akheratnya''

Aku hanya menatapnya dalam, mencoba mencari pembenaran atas puisi tentang Ibu yang pernah aku buat "apakah perwujudan Tuhan ada dalam dirimu?"

"Apakah ibu sudah mulai mempercayai Ayah?"

Dia hanya mengangguk dengan anggukan kecil "ibu pernah dibawa Ayah mu ke kantor nak, disana ia begitu membanggakan ibu. Ibu merasa cinta ayahmu telah kembali, cinta yang selama ini ibu dambakan. Ibu bahagia"

Air di pelupuk mata tak bisa aku bendung lagi, ia menetes sewajarnya. Bukan karena kekasih yang memberikan ku luka hadir kembali, tapi karena kebahagiaan ibu yang berarti bagiku, tak ada yang lebih berharga dan ternilai di dunia ini selain kebahagiaan dirinya.

Senyumnya malam ini begitu berarti, tulus. Bahkan senyumku ketika memandangi bulan berkali-kali lebih terasa begitu manis senyuman Ibu malam ini, tak baik jika aku menceritakan tentang lelaki itu padanya, ia sedang bahagia malam ini. Ku rasa tidurnya dan tidur ku malam ini akan indah, tak perlu ada lagi tangisan kesedihan atau dongeng-dongeng peperangan yang berakhir menyedihkan.

Ibu orang yang paling aku cintai menemukan kebahagiaannya kembali. Ayah sudah terlelap di kasur empuk kamar utama, dia sudah kembali seperti biasanya. Tak ada lagi pulang larut.

"Mungkin ini sudah saatnya aku berdamai dengan segala yang ada di dalam rumah ini" pekik ku di dalam angan.

"Ini saatnya kamu berdamai dengan Ayahmu nak, tidak baik menyimpan kebencian yang berlarut"

Ibu selalu tahu pikiran anaknya tanpa menunggu kalimat itu terucap dari bibir buah cintanya denga Gusti

"Iya bu"

Ibu mengelus kepala ku yang terakhir, sebelum ia kembali ke kamar utama. Bersama dengan Ayah

Malam itu, pikiran ku teralihkan e-mail darinya hanya ku baca sekali, belum sempat terbalas. Sudahlah aku tak ingin merusak momen yang indah hari ini dengan memikirkan sesuatu yang seharusnya tak menjadi beban buatku, positive saja. Mungkin dia sedang mencoba menjalin silatirahmi kembali dengan ku.

Tapi bagaimana dengan Tuan Matahari? Ah, seandainya dia lebih cepat kembali sebelum aku menjalin kasih dengan masa lalu ku, andai sinarnya memang benar untukku tak perlulah aku merasa sesulit ini mendorong masa laluku menjauh, berfokus hanya pada Tuan Matahari.

Aku takut, takut diriku akan goyah kembali bila meladeni setiap e-mail darinya, mencintai kembali kepingan hati yang telah dia bawa pergi jauh, sangat jauh. Aku mengenal Kekasih lama ku begitu lama, dia bukanlah tipe orang yang menjilat ludahnya sendiri. Sudahlah biar hari esok saja yang menentukan, aku ingin hari ini lebih cepat berakhir.

Tuan Matahari dan Nona BulanWhere stories live. Discover now