Pikiranku benar-benar kosong ketika melihat batu nisan bertulis nama ibuku. Ia sudah pergi meninggalkanku. Untuk selamanya. Aku tak akan bisa meneleponnya lagi di saat aku merindukan rumah. Sekarang siapa yang sudi mendengar cerita-ceritaku di Inggris? Siapa yang merindukanku di rumah?
Buat apa aku ada di Indonesia kalau aku sudah tidak punya siapa-siapalagi di sini?
Meski sama saja. Di Inggris pun aku tidak punya siapa-siapalagi yang mencintaiku. Yang akan mencariku atau membutuhkanku.
Sekarang aku hanya sendirian. Untuk apa aku hidup ketika tidak ada lagi orang yang dapat kubahagiakan dan membahagiakanku?
Satu per satu sanak saudaraku memberi ucapan dukacita. Aku membalasnya satu per satu dengan ekspresi sewajar mungkin. Aku tidak boleh cengeng.
Ibuku meninggal dengan tenang. Menurut Tante Vira, ia meninggal dalam tidurnya. Bukankah itu cara meninggal yang diinginkan seluruh orang di muka bumi? Jadi, aku harus senang kalau ibuku meninggal dengan cara yang mudah. Setidaknya ia tidak perlu menderita. Ia tidak perlu merasa kesepian lagi di rumah, bekerja demiku yang tinggal jauh dari rumah.
Mengapa aku harus kuliah di Inggris? Lebih baik aku di Indonesia, membantu ibuku menjaga toko.
Tante Vira menghampiriku. Ia mengelus pundakku yang membuatku merasa tidak nyaman."Lalu, kamu mau gimana, Carly? Kamu masih mau nerusin kuliah di Inggris?"
"Yah, aku gak mau berhenti di tengah jalan juga tante. Ini udah tahun terakhirku, dan sayang kalau aku keluar. Toh aku dapat beasiswa, dan aku punya penghasilan yang cukup buat makan sehari-hari"
"Kamu bisa pake duit tabungan mama kamu, Carly. Kalau kamu masih kekurangan, tante dan om bakal kirimin uang"
Aku menggelengkan kepalaku. "Gak perlu repot-repot tante. Aku udah dewasa... gak enak kalau aku terus bergantung sama orang lain... sekarang waktunya aku hidup sendiri dan berdiri sendiri..."
Tiba-tiba saja setelah mengatakan itu, air mata mengalir deras membanjiri pipiku. Tante Vira langsung memelukku.
"Kamu harus kuat, Carly. Mama kamu besarin kamu jadi anak mandiri, jadi kamu pasti bisa. Kamu ada apa-apa, jangan segan hubungin tante di Jakarta"
"Iya, tante. Makasih buat segalanya. Makasih udah urus Mama selama aku pergi..."
"Gak masalah lagi sayang. Tante juga kehilangan kakak yang hebat. Mama kamu bakal selalu dikenang jadi orang yang baik sayang"
"Iya. Doain Carly bisa banggain mama yah, tante..."
"Tentu aja. Kamu pasti bisa jadi orang sukses di sana, Carly. Jangan khawatir"
Aku memandang Tante Vira sekali, lalu mengalihkan pandangan kembali lagi ke arah kuburan ibuku.
Yeah, tidak ada gunanya aku menangis. Hidup ibuku sudah selesai, tetapi aku belum. Jadi, aku harus tetap berjuang bagaimanapun caranya agar dapat membahagiakannya."Sampai ketemu lagi yah, Tante Vira. Aku bakal kasih kabar kalau udah sampe Inggris lagi" ujarku lalu meninggalkan pemakaman dengan langkah yang menggebu-gebu.
Aku anak yang kuat, dan aku tidak boleh cengeng.
***
Dengan membawa sisa-sisa barang dari Indonesia ke Inggris, flatku sangat penuh sesak. Aku tidak tahu harus menaruh dimana lagi koper yang berisi foto-foto masa kecilku. Begitu juga dengan barang sentimentil yang tidak rela kutinggalkan di Indonesia. Seperti bantal yang digunakan ibuku. Memang membawanya sangat tidak penting, tetapi aku merasa lebih tenang membawa sesuatu yang dapat mengingatkanku dengan ibuku. Aku dapat merasakan kehadirannya meski aku tidak di rumah.
Ketika aku membuka lemari, aku melihat benda-benda yang membuat perutku mual. Semua barang itu pemberian dari Louis.
Aku menengok mendengar ponselku bergetar. Mataku sontak melebar melihat nama pengirim pesan itu.
Aku tidak tahu dimana kau sekarang, tapi berhati-hatilah karena wartawan sudah tahu kabar tentang kita. Jangan keluar dari flat, jika tidak terlalu penting.
Aku seperti merasa tercekik, aku hanya memandang layar ponselku antara rindu dan marah.
Aku merindukan kehadirannya di sini. Semenjak ia meninggalkanku, aku merasa tidak ada gunanya juga hidup di Inggris. Aku senang meski kami sudah berakhir, tetapi ia masih menaruh perhatian kepadaku.
Tetapi, mengapa ia harus menyiksaku begini? Tidakah ia sadar bahwa perhatiannya ini membuatku sedih? Ia bilang ia tidak mau berhubungan denganku lagi, tapi apa maksud dari semua ini?
Aku memutuskan untuk tidak membalasnya. Tidak akan ada wartawan yang mau mengejarku. Toh aku bukan siapa-siapa. Aku hanya si mantan kekasih anggota band terkenal sekarang. Aku hanya si Charlene Wright.
Keesokan harinya, aku bersiap-siap untuk pergi kuliah. Setelah sepuluh hari membolos, rasanya tidak bertanggung-jawab juga jika tidak menampakan diri di kampus.
Sebelum pergi ke kampus, aku berencana mampir sebentar untuk sarapan dengan roti panggang dan teh. Persis di depan kafe tempatku makan, ada kios koran dan majalah. Aku melihat sekilas berita di salah satu tabloid gossip.
LOUIS TOMLINSON DUMPED HIS GIRLFRIEND
Aku hendak membaca kelanjutannya, ketika seseorang menepuk pundakku. Aku tersentak dan kaget melihat seorang laki-laki dengan topi dan masker yang menutupi setengah wajahnya.
Matanya yang hijau membuatku sadar siapa laki-laki ini. Ia menarikku masuk ke dalam kafe."Aku ingin segelas teh Cammomile" katanya kepada sang pelayan.
Aku yang masih setengah bingung, dengan kikuk menyebut pesananku. "Roti panggang dan teh Peppermint"
Segera setelah pelayan itu pergi, Harry berbicara kepadaku.
"Kemana kau belakangan ini? Kau bersembunyi? Kabur?"
"Memangnya kenapa?"
"Well, karena wartawan tidak dapat melacak keberadaanmu, maka Louis yang kena akibatnya. Ia tidak bisa keluar dari rumah atau bekerja karena diserbu wartawan"
Pelayan datang membawa pesanan kami, dan setelah menunggu mereka pergi, barulah kami melanjutkan obrolan kami.
Aku mengangkat bahu. "Bukan urusanku lagi, kan. Bukankah itu sudah menjadi bagian dari hidup kalian?"
"Ia khawatir kau diserbu oleh wartawan" kata Harry sambil menyesap teh-nya.
"Untuk apa ia masih mempedulikanku? Toh ia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan denganku. Jadi seharusnya ia tidak mencintaiku lagi, kan?"
"Uhmm...tentang itu... ini inisiatifku sendiri untuk menemuimu"
Tiba-tiba Harry berbicara semakin dekat lagi kearahku. Aku merasa tidak nyaman karena ini teman Louis dan seharusnya kami berdua tidak boleh seperti ini.
"Ada apa?"
"Aku tidak tega melihat Lou menyesali keputusannya setiap hari. Itu menganggu kinerjanya, dan kau tahu jika ada salah satu dari kami yang tidak fokus, maka kami juga tidak dapat berkarya dengan maksimal. Kami seharusnya sudah selesai merekam album, tapi kenyataannya tidak selesai"
"Lalu apa yang harus kulakukan? Kau tahu aku sudah tidak punya hak apapun kepadanya. Kita sudah berakhir, Haz. Ini sulit juga bagiku, tapi semuanya sudah terlambat"
"Apa kau yakin?"
Aku mengangguk. "Bilang padanya terima kasih karena telah mengkhawatirkanku, tetapi ia tahu aku bukan cewek lemah. Aku bisa menjaga diriku sendiri"
"Mau tidak kau datang ke pesta di tempatku?"
Aku menggeleng. "Aku tidak menemukan tujuanku ikut ke sana. Bersenang-senanglah sendiri Haz dengan the lads lainnya. Kau harus belajar melepasku, Haz"
Harry menghela nafas. Ia menatapku lalu menundukkan kepalanya. "Kita masih berteman kan, Carly?"
Aku mendengus lalu menepuk bahu Harry.
"Tentu saja. Well, aku harus pergi kuliah atau aku akan terlambat" kataku terkaget-kaget melihat jam di tanganku menunjukkan pukul setengah 10. Padahal aku ada kelas jam 10.
Harry bangkit dari duduknya. "Kalau begitu aku juga lebih baik pulang"
"Yeah, hati-hati kau, Haz. Sampai ketemu"
Aku segera lari keluar dari kafe dan menuruni tangga di sebrang jalan menuju stasiun Tube.
Dalam perjalanan ke kampus, aku tidak berhenti memikirkan Louis. Jadi, ia tidak rela putus denganku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Louis 👋🏻
FanficCharlene Wright, 18. Seorang gadis asal Jakarta, Indonesia yang ditugaskan oleh pamannya menjadi asisten boyband terkenal asal Inggris yang akan mengadakan konser di Jakarta. Hampir semua personel boyband tersebut ramah kepadanya, namun hanya Louis...