Comeback

22 3 0
                                    

"Alva? Ngapain lo disini? ", tanya Rathalia setelah mengunjungi kuburan Arlo. Namun Alva hanya diam,  gadis itu membaca papan nisan di hadapan Alva yang bertuliskan, Nadya Meyka Hutagalung,  ibunya. "Lo nggak becanda kan,  Va?! Kenapa lo nggak petnah bilang ke gue?  Lo jahat,  Va!!! ", gadis iti memukul-mukul Alva tanpa tenaga karena isak di dadanya yang menjadi-jadi.

Lalu ia menahan tangisnya seusai para peziarah pergi berangsur-angsur tanpa jejak. Sepi, sunyi, langit senja menyinarinya dalam keheningan, namun ia masih terdiam tanpa sepatah kata terucap dari bibirnya yang membeku karena kenyataan yang sangat memukul dalam-dalam relung hatinya.

Setetes air hujan mulai berjatuhan dan lagi, ia masih terdiam membisu berusaha menahan tangisnya, namun tak bisa. Hujan yang menolongnya, menutupi semua air mata luka yang terjatuh, benar-benar saat yang ia sangat nanti-nantikan sedari tadi.

Ia mulai menangis tanpa alasan. Benci, rasa bersalah, dan segenap perasaan lainnya yang tak bisa tertuliskan dengan kata-kata. Ia tak lagi terdiam, selangkah demi selangkah ia mendekatkan dirinya pada ibunya yang telah tenang dalam kepergiannya. Ia memegang papan kayu bertuliskan nama seseorang yang sangat berarti di hidupnya. Menggenggam bunga-bunga yang ternodai oleh percikan air hujan dan tanah yang ikut mengkontaminasi. Berteriak sekeras-kerasnya dalam dada, ia masih terduduk diam menatap dalam-dalam nisan bertuliskan "Nadia Meyka Hutagalung".

"Aku benci!!!!....." Teriaknya parau, terisak dalam tangisnya yang kian menjadi.

"Aku benci mama!!! Ma...., mama nggak boleh pergi. Aku belum bisa maafin mama, aku belum bisa nerima semua kenyataan perih itu sendirian. Aku tau rasa benci aku ke mama nggak akan ada apa-apa nya dibanding rasa benci mama ke aku. Aku tau aku nggak pantes lagi buat panggil mama, ma..., belum cukup waktu buat aku marah. Lima tahun ini, aku hidup banyak dalam tanda tanya, dan mama pergi gitu aja tanpa satupun jawaban dari setiap pertanyaan itu. Aku benci ma..., Aku benci banget sama mama!!!", teriaknya lagi dengan tubuh dingin gemetar.

Semenit saja Alva tidak menemuinya, mungkin ia sudah jatuh pingsan terkapar diatas kuburan ibunya sendiri. Kedua kakinya lemas, jari-jarinya hanya gemetar kedinginan, dan wajahnya putih pucat layaknya mayat hidup.

Alva membawanya, lebih tepatnya ia menggendong Rathalia dengan kedua tangannya. Lalu meletakan lengan Rathalia di lehernya, sembari ia berusaha melepas jas yang dikenakannya sedari tadi, untuk melindungi sahabat kecilnya itu dari hujan yang sangat dibencinya.

Beberapa malam ia habiskan waktunya di rumah sakit, karena tubuhnya yang sangat rapuh setelah kepergian ibunya yang begitu tiba-tiba.

Dua hari di rumah sakit, Aluna, ya kakak perempuan satu-satunya yang ia miliki, terduduk di sebelahnya sambil memegangi tangannya yang terpasang infus.

"Kemarin itu..., aku main hujan-hujanan. Kaya anak kecil ya? Nggak tau kenapa sejak pulang dari Korea, aku jadi suka banget sama hujan. Mungkin seiring waktu orang memang berubah-ubah tanpa kita sadari..." Ucap Rathalia.

Aluna memandangi wajah adiknya itu dengan tatapan yang sulit diartikan, walaupun mereka tak sedekat itu, tapi ia tahu semua perkataan Rathalia adalah kebohongan semata. Dan ia hanya mengangguk seolah percaya dengan semua omong kosong yang sama sekali terlihat jelas tak berguna.

"Kak....", ucap Rathalia lirih. Ia berbalik memandangi mata kakaknya yang sedikit berkaca-kaca. Sesuatu yang tersembunyi, kalimat yang terpendam, ia sadar akan semua hal yang terjadi pada sang kakak.

"Kenapa kemarin nggak dateng? Kakak marah ya sama mama? Mama udah pergi, semua amarah yang kita pendam itu sia-sia. Semua rasa itu, cuma tinggal perasaan yang nggak ada artinya lagi. Mungkin disana, orang yang paling mama tunggu bukan orang lain termasuk aku, tapi kakak..."

AFFECTION ;Rathalia LiuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang