Fakta

47 9 13
                                    

Pada kenyataannya bahkan jika Rathalia bersekolah di sekolahan yang terbilang elit se-Jakarta, tetapi ia bukanlah termasuk dari jajaran keluarga menengah keatas dengan hidup yang serba mewah dan glamour. Ia hanya seorang gadis biasa yang tak sengaja mendapatkan keberuntungan untuk bersekolah di sana. Otak yang juga tidak pandai, skill khusus yang tidak ia miliki, ya, dia benar-benar gadis biasa tanpa keistimewaan apapun. Untuk itu ia sadar, setidaknya ia harus lulus tanpa masalah meskipun tidak menjadi anak unggulan disekolahnya. Sebisa mungkin ia menghindari berbagai hal yang dapat mengganggu kesederhanaannya itu. Jika ia bisa bertahan selama tiga tahun ini, artinya ia berhasil.

Namun semua tak semudah itu, ini kehidupan di bumi yang tak hanya satu orang yang hidup, ini juga dunia milik orang lain. Dan setiap orang tidak akan mungkin hidup tanpa masalah dengan orang lain itu. Karenanya Rathalia harus bertahan lebih keras dibandingkan gadis lain seusianya.

"Ra... Nanti siang gimana kalo kita nongkrong di Van Cafe?" Tanya Alvandera, saudara sepupu Rathalia yang sangat dekat dengannya sejak mereka masih kecil.

"Van Cafe? Nggak ah, lagi bokek gue. Lagian bukannya nanti sore lo ada pertandingan basket lawan sekolah sebrang, kan?" Selain memang gadis itu telah kehabisan uang bulanannya, ehm tidak, lebih tepatnya uang saku untuk tiga hari yang merangkap harus jadi cukup untuk sebulan. Ia juga harus menghafalkan pelajaran biologi untuk ulangan besok, sekaligus mengerjakan tugas dari Pak Shihab, mahasiswa magang yang kalo lagi ngajar suka keblabasan jadi ceramah kotbah jumat.

"Iya sih, tapi gampanglah nanti bisa gue atur. Gimana nih lo mau, kan? Gue traktir deh, kebetulan gue abis dapet job trus gajian hari ini" jawab Alva yang terlihat lebih memaksa dari pada sekedar mengajak.

"Tumben lo mau neraktir gini. Lo nggak lagi sakit kan, Va?" Rathalia memegang jidat Alva yang tidak panas sama sekali, kemudian gadis itu menggeleng sendiri, "Tuh kan lo sehat kok. Udah deh pokoknya gue nggak mau, besok banyak ulangan, banyak remedian, tugas juga pada numpuk. Mending lo ajakin sapa gitu kek!"

"Nggak bisa, Ra. Udah ikut aja susah amat sih, pulang gue anterin deh. Baik kan gue?"

"Idih... Maksa amat sih lo! Nggak ah gue mau balik, capek" Gadis itu segera meninggalkan Alva, namun pria itu tak mau kalah, ia menghadang tepat di depannya. Menggenggam tangan Rathalia dan menariknya untuk pergi ke arah yang dia inginkan. "Lepasin ih!"

"Bisa nggak sih lo tuh nurut sama gue, ini juga semuanya demi lo, Ra" ucap Alva lirih, sepertinya Rathalia mulai mengerti alasan mengapa ia harus pergi bersama sepupunya itu, dan hal apa yang sedang terjadi di rumahnya saat ini.

"Tunggu!" Teriak Rathalia menghentikan langkah Alva segaligus melepaskan genggamannya itu. "Jelasin sama gue! Kevin balik lagi ke rumah, kan? Kenapa? Lo nggak bisa nutupin semuanya dari gue, Va. Gue bukan Rathalia yang dulu, bukan anak kecil yang cuma bisa nangis dan nggak ngerti apa-apa. Gue perlu tau semuanya" Air matanya menetes perlahan menyisahkan sedikit warna kemerahan di matanya, membuat luka lama yang dikuburnya dalam-dalam selama ini bangkit kembali dan merasuki dirinya.

"Nggak gitu, Ra. Masalahnya nggak segampang itu, dan ya, buat gue lo masih Rathalia sepuluh tahun lalu yang gue kenal" Kali ini Alva memegang kedua bahu Rathalia dengan tangannya erat-erat. "Gue ngerti lo marah, tapi perasaan lo saat ini itu nggak akan bisa nyelesain masalah"

"Terus gue harus gimana? Selama ini aja gue udah kaya  dianggep sampah di rumah gue sendiri, Va. Tapi seenggaknya semua itu membaik sejak Kevin pergi. Tapi apa sekarang? Gue bahkan lebih hina dari sampah, gue cuma debu yang nggak pernah bisa orang lain liat. Gue-" Sedetik kemudian Alva sudah memeluk gadis itu dalam pelukannya. Tangisnya menjadi-jadi, semua amarah yang dipendamnya sejak tadi perlahan mulai luntur. "Makasih, Va. Tapi gue harus pulang, mau sampe kapan gue lari terus kaya gini? Selamanya gue harus terima kenyataan dan gue nggak bisa lagi menghindar dari itu sekalipun bukan ini yang gue mau" Rathalia melepaskan Alva, berlari secepat mungkin untuk kembali, dan hujan seakan mengerti keadaannya.
Sekalipun ia benci hujan, tapi tak ada salahnya untuk kali ini ia mencoba menyukainya, karena hujan telah berhasil menyamarkan tangisnya, setidaknya ia takkan terlihat lemah.

AFFECTION ;Rathalia LiuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang