Minho berjalan menuruni tangga dengan buku partitur musik di tangannya setelah beberapa saat yang lalu ibunya berseru memanggilnya untuk makan malam. Jadi, mau tak mau dia pun menurut.
Sebelum salah satu wajan penggorengan ibu melayang, katanya.
"Taruh dulu bukunya, le. Makan,"
Minho mengalihkan perhatiannya pada wanita paruh baya yang tengah duduk sendirian di meja makan. Matanya mengedar ke sekeliling mencari sesuatu.
"Nyari apa toh kamu itu?"tanya sang ibu dengan aksen jawa yang khas.
Minho menggeleng sembari meletakkan buku partiturnya ke salah satu kursi kosong yang ada di sebelahnya.
"Abang belom pulang, bu?"katanya sembari mengambil salah satu piring.
Wanita berusia hampir setengah abad itu hanya menggeleng, "Belom. Bentar lagi pasti pulang,"
"Loh, kenapa kok ndak jadi ambil nasinya? Lauknya kurang?"lanjut ibunya begitu Minho mengurungkan niatnya untuk menyendok nasi.
Minho menggeleng, "Itu ... ibu sendiri kok nggak makan?"
Ibunya tersenyum, "Kamu aja makan duluan, ibu masih nungguin masmu."
Minho diam sebentar. Kemudian mengembalikan piringnya ke tempat semula.
"Loh, kok malah dibalikin piringnya?"
"Hehe. Nunggu abang sekalian aja, bu."cengirnya tanpa dosa.
Ibu Minho menggelengkan kepalanya sambil berdecak tidak suka, "Wis, kamu itu udah ibu masakkin kok malah ndak makan. Kamu itu, kalo nungguin masmu balik, bisa sampe tengah malem. Mau kamu?"
Minho mengangguk antusias, "Mau! Selagi ada abang sama ibu, Minho nggak masalah."
"Loh, ndang dimakan kok. Keburu dingin makanannya,"
Minho tetap kukuh dengan keputusannya. Meskipun masakan ibunya di meja makan begitu menggugah selera siapapun yang melihatnya.
"Yaudah, sakarepmu."pasrah sang ibu lantaran lelah menghadapi kelakuan anaknya.
Tepat saat itu juga seseorang melangkah masuk mendekati keduanya. Dengan helm full face di tangan kirinya.
"Loh, kok belom makan?"tanya Jackson, selaku putra tertua.
"Adekmu itu susah dibilangin. Dia mau nungguin kamu pulang dulu, baru mau makan."adu sang ibu kepadanya.
Jackson tertawa sambil mengacak rambut adiknya gemas, "Sok-sokan nungguin abang. Biasanya juga makanan di meja makan tinggal sayur doang,"
"Yah, habisnya ibu nggak mau makan kalo abang belom dateng. Yaudah,"
"Yaudah, ayo makan bareng."
Jackson duduk sembari meletakkan helm miliknya di satu kursi yang masih kosong. Kemudian meraih dua piring, satu untuknya. Sementara yang lain untuk Minho.
"Bu, ambilin. Hehe,"
Sang ibu menggelengkan kepalanya heran dengan sifat kedua anaknya yang benar-benar mirip. Sama-sama manja di usia yang sudah dewasa.
"Haish, kalian ini tetep ndak berubah rupanya."
Aduh, hangatnya keluarga ini.
***
Jisung lelah. Sudah hampir sekalian ini ia berjalan mengelilingi kelas hanya untuk mencari kertas sketsanya yang hilang entah ke mana. Dia bahkan sudah bertanya hampir ke pada seluruh teman-teman satu kelasnya.
Tapi, hasilnya nihil. Tak ada satu pun yang tahu di mana kertas berharga itu sekarang.
Pada akhirnya, pemuda manis itu memilih untuk menyerah dan duduk diam di atas kursinya saja. Moodnya hancur, benar-benar hancur.
Dia tidak pernah merasa sekacau ini hanya karena kertas sketsanya hilang. Mungkin, bukan karena kertasnya yang menghilang. Tapi, objek gambarnya yang menjadi bagian terpenting darinya.
Jisung mendengus. Ia berpikir harus berdiam diri sejenak untuk menjernihkan pikirannya. Selagi, menunggu kedua teman dekatnya datang.
Dan benar saja, tak lama kemudian kedua orang yang ditunggunya datang secara bersama. Diawali oleh Seungmin, lalu Felix mengekor di belakangnya.
"Pagi, Sung. What happen?"sapa Felix yang menyadari perubahan ekspresi wajah pada pemuda Han di depannya ini.
Jisung menggeleng lemah, "Kertas sketsaku hilang,"
"Hah, kok bisa?!"kali ini Seungmin menimpali, "Udah kamu cari ke seluruh kelas 'kan, Sung?"
"Udah. Tapi, mereka nggak ada yang tau."jawabnya sambil mengangguk lesu.
Seungmin dan Felix saling bertukar pandang. Kemudian mengalihkan atensinya pada Jisung yang sedang murung.
Seungmin segera duduk di samping Jisung, "Udahlah, Sung. Jangan sedih, next time pasti bisa bikin sketsa gambar lagi."katanya sambil menepuk-nepuk bahu pemuda itu.
"Iya, bener kata Seungmin. Aku yakin kok kamu pasti bisa gambar ulang sketsa itu,"timpal Felix, menyetujui.
Jisung hanya balas menganggukkan kepalanya lemah.
***
Minho terdiam sambil memandangi tuts-tuts hitam putih di hadapannya. Beberapa kali ia menggerakkan jarinya ke atas tuts-tuts itu, namun urung karena dia yang masih meragukan kemampuan tangannya.
"Ck, gini dong nggak bisa. Gimana mau ikut kompetisi piano internasional?"gerutunya kesal.
Ia memilih untuk membuka buku partiturnya. Namun, tanpa sengaja selembar kertas jatuh dari sana. Pemuda itu mengernyitkan keningnya sambil berusaha mengambil kertas yang terlipat itu.
"Oh, ini sketsa punya anak itu?"katanya diselingi senyuman jail, "Bagus sih, cuma belum selesai digambar."
Ia meletakkan kertas itu di sisi di mana dia bisa selalu melihatnya. Dan tersenyum setelah melihat sketsa yang belum sempurna itu bersinar cerah seperti tawa pemiliknya.
Entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja jari-jari tangan Minho mulai menekan tuts piano secara teratur, memainkan lagu Smile milik Charlie Chaplin dengan begitu ringan dan santai.
Dia tersenyum saat bisa membayangkan wajah pemuda itu begitu jelas dalam benaknya. Tengah tertawa dengan riang.
"This one for you,"
Dan lanjut bermain hingga jam untuk free-class berakhir.
...
scene satu ini terinspirasi dari salah satu scene dalam novel 'A Song For Alexa' karya Cynthia Isabella.
KAMU SEDANG MEMBACA
Song For Jisung ㅡ minsung✔
FanfictionHanya keduanya yang tahu, lewat nada-nada musik perasaan mereka diungkapkan. Mungkin hanya Minho yang masih bingung dengan pemikirannya sendiri. Tentang siapa yang berhak untuk hati dan semua rasa cintanya. Tentang siapa yang berhak menjadi pemilik...