Minho terlihat begitu mengenaskan.
Setidaknya itulah pemandangan yang bisa ditangkap oleh kedua mata Jackson. Setelah menyelesaikan beberapa urusannya dengan kepolisian dan memenjarakan orang bernama Chris, ia memutuskan untuk menyusul Minho ke rumah sakit. Niatnya ingin menenangkan Minho yang pastinya syok berat setelah melihat apa yang terjadi pada sang pujaan hati.
Namun begitu tiba di sini, hanya kehampaan yang dapat ia temukan dari sorot kedua mata sang adik. Mau menghibur pun percuma, Minho yang sekarang masih sibuk berkelana di dunia khayalannya. Mungkin berangan-angan untuk bisa bermain dengan Han Jisung yang saat ini tengah sekarat di dalam sana.
"Hei!" Pekiknya terkejut saat sang adik tiba-tiba menarik kuat rambutnya. Buru-buru ia hentikan tindakan bodoh Minho yang hendak menyakiti dirinya sendiri. Dipeluknya Minho yang tengah emosional, menangis dalam diam, menyesali apa yang telah ia lakukan.
"A-aku bego banget," katanya di tengah isak tangisnya.
Jackson tak segera memberi reaksi, ia masih mencoba memahami perasaan adiknya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menepuk bahu sang adik, menyalurkan rasa simpati. Diusaknya surai hitam yang tampak berantakan itu, lalu sekuat tenaga mencoba tersenyum.
"Daripada nangis, mending sekarang kita sama-sama berdoa. Jisung juga kalo tau kamu nangis gini pasti sedih banget, kan? Ayo, Minho. Mas tau kamu kuat. Cepetan hapus air matanya, gih."
Minho menurut, meski sesekali napasnya masih sedikit tersengal. "S-semoga Jisung baik-baik aja."
Jackson tersenyum, "Jisung pasti baik-baik aja, kamu percayakan semuanya ke Tuhan."
Dan mereka pun menghabiskan waktu selama berjam-jam meratapi pintu UGD yang tak kunjung terbuka. Berharap dengan cemas jika saja pintu di depannya terbuka, semoga yang mereka dapatkan bukanlah kabar yang buruk.
Tak lama berselang, pintu itu terbuka. Menampilkan seorang wanita berusia kisaran 30 tahunan yang tengah melepas masker yang menutupi sebagian wajahnya. Mereka berdua bisa menangkap dengan jelas raut khawatir pada wajahnya yang hampir dipenuhi kerutan penuaan.
"Bagaimana kondisi pasien, Dok?" Jackson yang pertama kali membuka suara, karena hingga beberapa detik berlalu sang dokter tak kunjung mengucapkan sepatah kata pun.
Minho gigit jari, terlebih dokter itu hanya bisa menggeleng pasrah. Apa kondisi Jisung sebegitu buruknya?
"Apa kalian wali dari Pasien Han?"
Jackson dan Minho bertukar pandang, sontak mengangguk. "Ya."
"Pasien Han Jisung berhasil melewati masa kritis setelah sempat hampir kehilangan nyawa. Beruntung kalian membawanya ke mari tepat waktu. Selain luka lebam juga cidera pada tulang tengkorak akibat benturan yang keras. Pasien juga menunjukkan tanda-tanda kekurangan gizi," tukasnya panjang lebar. Ia melempar pandangan pada Jackson, "Wali pasien Han, tolong ikut saya ke ruangan. Ada yang ingin saya sampaikan."
Jackson hanya mengangguk. Bertukar pandang dengan Minho sekilas, lalu berjalan membuntuti dokter tersebut. Meninggalkan Minho di tengah-tengah keheningan yang menyelimuti, disusul dengan perasaan aneh yang entah apa namanya ini.
Di satu sisi ia merasa lega, ternyata Jisung baik-baik saja. Akan tetapi di sisi lain turut merasa khawatir sekaligus prihatin, tanpa ia ketahui ternyata kondisi Jisung sebegitu parahnya. Apa tadi dokter itu berkata jika Jisung mengidap gejala kekurangan gizi? Apa dia sebegitu tertekannya sampai-sampai lupa caranya makan yang baik dan benar?
"Minho bodoh." Lagi-lagi yang bisa ia lakukan hanyalah menyalahkan diri sendiri. Coba saja waktu bisa diulang. Jika dia tak menyulut api permusuhan diantara Seungmin dan Jisung, mungkin pemuda kesayangannya itu masih ada di sampingnya. Sehat dan penuh keceriaan.
Membayangkannya saja membuat Minho makin tenggelam dalam lautan air mata dan rasa bersalah.
*
Jisung masih setia terlelap. Sampai-sampai Minho sendiri lupa, kapan terakhir kali mereka bercengkrama. Minho rindu saat-saat itu. Andai saja kebodohan dan keserakahan tidak menguasainya. Mungkin semuanya masih baik-baik saja.
Perihal kondisi Jisung, Jackson sudah mengabari ibu Jisung lewat perantara ibunya. Wanita itu tentunya syok, ingin rasanya segera pulang, tapi masalah pekerjaan masih setia membelenggunya. Ia memberikan kepercayaan pada keluarga Minho untuk memantau kondisi Jisung selama ia masih disibukkan dengan beberapa hal.
Memang terkesan miris, mengapa di saat putra kesayangannya jatuh sakit ia masih tak bisa berkutik. Lagi-lagi karena pekerjaan. Namun, tak ada hal lain yang bisa diperbuat selain menyelesaikan semuanya sesuai rencana awal.
"Kak Minho," panggil seseorang dari ambang pintu membuatnya tersentak. Minho otomatis menoleh ke sumber suara dan mendapati Felix yang tengah memandangnyaㅡ atau mungkin Jisungㅡ dengan pandangan yang tak dapat diartikan.
"Felix, kamu sendirian?" Minho spontan bertanya saat tak mendapati sosok lain selain Felix setelah pintu bangsal Jisung tertutup. Sementara Felix menggeleng lemah sebagai jawaban, matanya senantiasa memandang lurus pada Jisung yang tengah terbaring.
Semakin terkikisnya jarak diantara Felix dan Jisung, runtuhlah pertahanannya. Felix tak lagi bisa menahan air mata yang turun begitu deras membasahi wajahnya. Minho sontak berdiri, memeluk Felix yang masih sama terguncangnya seperti dirinya. Menenangkan yang lebih muda dengan membisikkan kata-kata penyemangat.
"Sst, tenang. Jisung nggak bakalan suka kalo tau kamu nangisin dia, Felix. Please berhenti nangis, ya? Kita berdoa, minta sama-sama ke Tuhan supaya Jisung bisa cepat siuman." Minho menyumpah serapahi dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia berlagak menenangkan orang lain, sementara hatinya sendiri sama hancurnya dengan pemuda yang ada dalam dekapannya saat ini.
Tanpa Minho ketahui, di luar sana ada sosok lain yang sekuat tenaga menahan isak tangisnya. Ia mendengar dan mengetahui segala hal tentang kondisi Jisung, namun ia tak punya cukup keberanian untuk menunjukkan eksistensinya di hadapan Minho. Dia merasa bersalah, andai saja kali itu ia tak berlaku egois. Pasti semuanya akan baik-baik saja.
Tak lama berselang, akhirnya isakannya terdengar semakin nyata. Beruntunglah lorong rumah sakit itu sepi dan pastinya bangsal-bangsal pasien itu kedap suara. Setidaknya dengan begini Seungmin bisa meluapkan rasa amarah dan penyesalannya tanpa khawatir menganggu orang lain. Membiarkan isakannya semakin keras seiring dengan derasnya air mata yang turun.
Seungmin terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Dia sadar betul bahwa ia bukanlah sahabat yang baik untuk seorang Han Jisung. Jisung selalu bersedia menjadi tempat berkeluh kesahnya, tapi mengapa ia tak pernah ada di saat Jisung sedang ada dalam titik terendahnya?
Ia merutuki dirinya sendiri, andai saja waktu bisa diputar ke belakang. Kalau bisa Seungmin ingin memperbaiki segalanya, ia ingin berubah. Seandainya bisa, Seungmin ingin lepas dari keegoisannya.
"M-maaf, Jisung. Aku egois."
KAMU SEDANG MEMBACA
Song For Jisung ㅡ minsung✔
Fiksi PenggemarHanya keduanya yang tahu, lewat nada-nada musik perasaan mereka diungkapkan. Mungkin hanya Minho yang masih bingung dengan pemikirannya sendiri. Tentang siapa yang berhak untuk hati dan semua rasa cintanya. Tentang siapa yang berhak menjadi pemilik...