6|| Iri Hati

66 4 0
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Setra

Muak akan bualan-bualan ketidak pastian yang selalu terlontar dari mulut mereka. Pesan dengan tulisan bertemakan memohon dan dalih-dalih pergi. Sibuk ? Akupun sama. Lelah ? Akupun sama. Tertekan ? Akupun sama. Lantas apa yang membedakan diriku dengan kalian, kita semua menanggung beban yang sama. Kita sama.

Sela-sela merebahkan diri beristirahat mengerjakan tugas yang seharusnya didiskusikan bersama,beristirahat seperti ini cocok untuk menetralkan sedikit tekanan dari beban. Pikiran-pikiran negatif diiringi rasa benci pada mereka.

Heran, itulah yang sering aku rasakan. Entah mengapa, mereka mampu dengan mudah membuat suatu perjanjian kemudian mereka dengan mudah pula melupakannya. Ingin membenci dan berindak masa bodo, tapi nilai perkuliahan jadi taruhan yang cukup mahal untuk pilihan ini. Meningat aku berkuliah disini karena kedua orang tua yang rela berkorban demi masa depan anaknya. Membenci mereka tak akan menyeselaikna semua masalah dan bekerja sendirian kurasa menjadi pilihan yang cukup tepat, dibanding tak mengusahaknnya sama sekali.

-Setra part End

Dengan berat hati dan rasa kesal yang tersimpan dalam hati. Tugas itu dikerjakam dengan hati yang terpaksa dan jauh dari kata ketulusan. Kerja kelompok memang seharusnya dikerjakaj dan dipecahkan secara bersama-sama. Internet dengan kekuatan pas-pasan menjadi modal untuk mengais referensi yang relevan untuk tugas. Waktu terus berlalu dan berlalu, tak terasa sudah dini hari. Angka pada jam tak pernah jadi perhatiannya, hanya tugasnya yang menjadi perhatiannya dan membuatnya terjaga sepanjang malam.

Tugas kelompok yang dikerjakan sendiri itu akhirnya usai, setelah melalui perjalanan panjang untuk bisa tersimpan menjadi data yang utuh dibalik perangkat lunak komputer. Karena pusing memikirkan tingkah laku dari teman-temannya dan waktu juga sudah pagi maka Setra bersiap-siap untuk menyiapkan perlengkapan untuk kuliah nanti pagi.

Brakkk

Buku-buku yang ada pada pegangannya jatuh, dan Setra merasa terlalu lelah. Tapi, tetap saja mengingat kembali orang tuanya. Nafas panjang kadang muncul sebagai tanda keluhan yang membuatnya harus nampak bijak dan tegar menghadapi drama klasik nan munafik ini. Karena dia sadar bahwa mungkin ini cobaan yang Tuhan berikan untuk menguji ketabahan dan ketangguhan hati dalam menghadapi ini semua.

Teringat demikian, dia termotivasi untuk menahan rasa sakit ini sebentar lagi, karena yakin bahwa akan ada masa semua ini sirna, dimana dirinya dapat bertindak tanpa terbebani tindakan dari orang lain. Jika hari ini bekerja dabalik bayangan, mungkin suatu saat bersinar bagai bintang.

Matahari telah terbit, dan saatnya mempersiapkan diri menuju kampus. Merapikan diri dan perlengkapan menjadi suatu keharusan, jika tidak ingin jadi bahan pembicaraan dikampus.

Jam pertama hari ini Setra belajar dengan dosen yang santai dan saking santainya ia terlelap saat kelas berlangsung. Tidur membawanya jauh pada sebuah mimpi, mimpi dimana orang-orang menghargai kerja kerasnya, semua orang peduli dan perhatian pada dirinya. Sesuatu yang sangat di Idamkan Setra sekian lama setelah menjalani kuliah. Mimpi itu terus membuatnya tenang dan rileks sesaat setelah ada becana datang, dunia yang diidamkan itu hancur berkeping keping karena gempa yang dahsyat.

Semua nampak gelap, namun perlahan seberkas cahaya nampak yang lama-lama menjadi besar. Setra terbangun dan mengusap kedua matanya pikiran yang masih berada di alam mimpi dan tubuh dipaksa untuk menghadapi kenyataan. Kedua sisi yang masih saling berjauhan dan Setra masih menyatukan dua sisi ini agar sadar sepenuhnya.

"Eh. Enak yah tidurnya" ucap Indra yang kebetulan duduk disampingnya.

Setra hanya membalasnya dengan senyuman, sembari sementara kesadarannya masih dia kumpulkan. Indra kembali menatap ke arah depan dan kembali memperhatikan dosen. Setra memegang kepalanya untuk menahan pusing akibat dibangunkan paksa. Dengan rasa cukup kesal dia berusaha menahan amarahnya mengingat jam sekarang perkuliahan masih berlangsung. Tak mungkin untuk menegur Indra untuk sekarang ini, bersabar sedikit mungkin jadi pilihan yang tepat.

Jam terus berputar dan akhirnya tiba di penghujung waktu, dan kelas selesai. Dengan sigap Setra langsung pergi meninggalkan ruangan begitu dosen meninggalkan ruangan. Pergi dengan buru-buru dihiasi raut wajah yang masih sedikit mengantuk, di jalan dia bertemu dengan rekan satu kelompoknya Restu, dengan raut wajah yang malas menyapa dan benar saja dia menunduk saat jaraknya dengan Restu semakin dekat.

Tampaknya Restu tak menyadari dan itu keuntungan bagi Setra.
Nafas panjang tanda lega keluar begitu saja setelah dia berhasil pergi tanpa harus menyapa "fake" rekannya itu.

Perjalanan singkat itu berakhir disebuah ruang perpustakaan dan Setra duduk tepat ditepi jendela. Banyak hal yang terlihat dari sana, semua orang terlihat sibuk dan berlalu-lalang disana

-Setra's mind-

Iri rasanya melihat bisa akrab dan dianggap setara.

Iri rasanya bisa pepergian bersama teman.

Iri rasanya melihat mereka yang sibuk tapi mampu membagi waktu.

Iri rasanya melihat mereka yang dapat berintdak masa bodo dengan tanggung jawab.

Kenapa melihat orang lain selalu menbuatku iri dan merasa bahwa aku tak memiliki apa-apa.

Wahai waktu janganlah meninggalkanku tanpa ada sebuah petunjuk, berilah aku petunjuk untuk menahan "iri" ini.

================================
Source of Picture : Pinterest

Untuk pembaca yang terhormat mohon maaf dari hati yang paling dalam, semisal author update cerita waktunya tidak konstan dan ceritanya terlalu pendek.

Karena author masih mahasiswa dan harus berkutat dengan tugas dan laporan.

Kritik dan sarannya sangat dinanti, author sangat terbuka untuk itu karena demi kemajuan author dalam menulis.

Jangan lupa vote juga.

See you on next chapetr.

Konflik BatinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang