Novya membaca satu-persatu tulisan yang berisi nama di papan tulis putih. Sementara di sekitarnya, banyak murid-murid yang ribut dan berbisik. Macam anak TK.
"Oke anak-anak, inilah nama beberapa siswa dan siswi yang ibu tulis. Ibu harap kalian dapat menerimanya."
Novya terbelalak begitu mengetahui namanya juga ditulis. Aku jadi bendahara?!
"Woi, Vy, kamu jadi bendahara?! Selamat ya... Good luck!" bisik Dian sambil menyenggol bahu Novya.
"Hehe... Apaan sih?" ujar Novya meringis. Dian memang terlalu lebay. Padahal belum terpilih pula. Tapi Novya baru sadar bahwa ia mendapat tiga saingan orang.
"Tapi bu, bukannya voting itu kita yang milih ya bu?" terdengar kata protes dari Eni, teman sebangku Keyla.
Bu Hermin menatap Eni datar. "Kan ibu bilang, kali ini siswa-siswi yang dipilih itu ibu pilih sendiri... Lalu ibu tulis di papan ini. Kan tadi ibu bilang, kalian harus menerimanya." Bu Hermin kembali memandang papan tulis.
"Uuuh.... Guru macam apa itu?!" Dian merengut. Suaranya memang kecil, namun rasa kesalnya bisa dibilang besar.
"Baik, ibu rasa, apa yang ibu tulis di sini sudah cukup dan tepat. Sekarang waktunya voting!"
Kok jadi gini, sih???
Novya mengernyit. Harusnya kan semua murid yang memilih baru diputuskan. Kenapa sekarang?...
"Dari ketua dulu ya... Hufff! Ketua kelas, calonnya ada Kiki, Adi, Mala, dan Dafa. Sekarang... Siapa yang pantas untuk menjadi ketua?" Bu Hermin menyiapkan spidol hitam.
"Kikiii!"
"Dafaaa!"
"Kikiii!"
"Dafaaa!"
"Woi, Kiki tu lebih pantes!"
"Dafa juga kalee!"
"Oke, cukup anak-anak! Baik karena kebanyakan dari kalian semua memilih Dafa dan Kiki, jadi ibu coret nama yang tidak terpilih." tangan Bu Hermin mencoret kedua nama yang tidak masuk atau lolos.
"Bu, wakil kelasnya?"
"Makanya ibu tulis lagi nama Dafa dan Kiki. Nanti ibu tanya siapa yang pantas, jika salah satunya mendapat suara terbanyak, maka jadi ketua. Sedangkan satunya lagi yang 'kalah' dari dia menjadi wakil. Mengerti?" terang Bu Hermin.
"Ya bu..."
***
"Vy, kok voting nya aneh ya tadi? Di sekolahku dulu, semua murid yang memilih bukan guru macam Bu Hermin itu." ucap Dian mengembuskan napas.
"I, iya. Sekolah ku dulu kayak gitu."
"Eh, kamu jadi bendahara ya? Sama siapa lagi? Kan bendahara mesti ada dua lah." Dian menepuk bahu Novya.
"Aku... Sama Adriana." jawab Novya.
"Hah, sama dia? Temennya Keyla-Keyla nggak jelas itu?!"
Novya mengangguk.
"Ok. Sori, aku tadi ga perhatiin, soalnya udah males banget nerusin sampai selesai." terang Dian polos.
Novya mengangguk.
"Kok cuman angguk sih? Ih, gemes aku lama-lama!" Dian mencubit pipi tembam Novya.
"Auwww! Iya-iya..."
"Hehe..."
"Awaaaasss!!!"
Buukk... Teriakan dan lemparan dadakan bola basket tersebut, membuat Novya shock.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear P!nk
Non-FictionBagi banyak orang, hitam adalah suram. Ya, memang betul! Tapi bagi Novya, hitam adalah warna favoritnya dan segalanya. Dimulai dari handphone, casing, tas, alat tulis dan tentu saja barang-barangnya serba berwarna hitam. Teman-temannya juga mengangg...