t u j u h b e l a s

4.1K 246 2
                                    

Cinta manusia hanyalah sebuah fatamorgana
Tapi, cinta Allah adalah kekal

°°°°

Asma' mengenggam erat tasbihnya, bibirnya tak henti berdzikir, meminta pada Sang Illahi untuk keselamatan dan kesembuhan Sarah.

"Insha allah kamu kuat, Mbak," bisik Asma' dari balik pintu kaca yang memisahkan tempatnya dengan tempat Sarah berjuang, di sana. Di ruang ICU.

"Dia wanita tangguh," Erwin berdiri di sampingnya, dan Asma' mengangguk samar. "Jangan menangis," Erwin menghapus air mata Asma' dan merengkuhnya.

"Aku takut," gumam Asma' dalam pelukan Erwin. Ekor matanya melirik ke arah Lita yang duduk di bangku besi, menangis sejadi-jadinya dalam pelukan suaminya.

Manusia, ya manusia. Terkadang bukan hanya diuji dari sisi harta, tapi anak pun bisa menjadi ujian. Kenapa? Karena Allah ingin tahu seberapa besar kita mengikhlaskan segalanya dan memilih Allah sebagai sandaran kekuatannya. Tapi, beberapa manusia tak berpikir seperti itu. Apa yang dia alami ada musibah, hal buruk yang harus dia tanyakan kepada orang pintar (dukun). Jika dia tahu caranya, cukup mengambil air wudlu, mengadu pada Allah dan mengikhlaskan segalanya. Insha Allah, Allah akan membantu kita.

"Sarah akan baik-baik saja," Asma' beralih menatap Sarah yang berada di dalam ruang ICU, mengangguk lagi. Asma' yakin, Allah sangat mencintai Sarah.

"Ya allah, apapun yang terjadi, aku serahkan semuanya padaMu. Kami sudah berusaha. Kami ikhlas jika Kau memilih dia bersamaMu," doa Asma' disela cucuran air matanya.

"Kami ikhlas, Ya allah," gumam Erwin pula, pelukannya semakin mengetat.

°°°°

Sudah tiga hari Sarah terbaring di ruang ICU. Dia harus tidur dengan alat-alat medis yang membebat tubuhnya. Seolah, alat itu ada penunjang seluruh hidupnya.

Asma' meraih tangan kanan Sarah, mengusap punggung tangan wanita itu dengan lembut. "Mbak Sarah kuat," bisik Asma' di telinga wanita itu, mengecup sekilas keningnya. "Allah sangat mencintai Mbak Sarah,"

"Asma'," Erwin berdiri di depan pintu ICU. "Ayo kita cari makan dulu," tuntun Erwin.

"Aku enggak tenang kalo ninggalin Mbak Sarah," ucap Asma' yang mencoba menolak.

"Kamu dari kemarin belum makan apapun, hanya sedikit saja," Erwin membujuk dan menuntun Asma' masuk ke dalam lift menuju lantai dasar, di mana kantin rumah sakit berada. "Duduklah, aku pesenin makanan dulu,"

Asma' menurut, duduk diam di kursi besi rumah sakit. Menatap kosong pada asbak rokoknya yang diletakkan di tengah setiap meja.

"Bubur ayam," Erwin meletakkan nampan berisi dua mangkok, satu mangkok bubur dan satunya mangkok berukuran agak kecil yang berisi kuah bubur. "Sedikit aja enggak pa-pa."

Asma' menurut, dia mengambil sendoknya dan mulai memakan bubur pesanan Erwin, membiarkan pria itu menuang setengah isi kuah ke dalam mangkuk buburnya. "Rasanya hambar,"

Erwin mencoba tersenyum, diusapnya kepala Asma', "paksain makan. Kamu harus kuat buat Sarah dan Ibra,"

"Iya,"

°°°°

"Mbak," Asma' berdiri di samping brankar Sarah. "Alhamdulillah kamu udah bangun, Mbak,"

"Yaahh," ucap Sarah lirih nan serak. "Asma',"

"Mbak mau apa? Bilang aja," ucap Asma' yang mengusap lembut punggung tangan Sarah yang mulai kurus, "Insha allah,"

"Tinggalkan Mas Erwin," setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Asma'. Ini kah yang diminta Sarah?

"Aku mohon," gumam Sarah yang kembali memejamkan matanya.

"Mbak," pelan, Asma' menggoyangkan bahu Sarah. Mata lelah itu menatapnya lemah, "mbak ingin aku pisah dengan Mas Erwin?"

Mengangguk lemah, "iya,"

Mencoba menegarkan hati, Asma' mengangguk lemah, "ya, akan aku lakukan mbak,"

"Buang anak itu juga,"

"Jangan mbak. Biarkan aku menjaga anak itu. Tolong jangan meminta yang itu. Aku bisa mengabulkan tentang Mas Erwin, tapi dengan anak itu," Asma' menempelkan keningnya pada punggung tangan Sarah, "tolong jangan anak itu, Mbak."

"Dia pembunuh, Asma'," Sarah menagis juga.

Asma' menggeleng lemah, "Mbak, tidak. Anak itu bukan pembunuh, itu sudah suratan takdir dari Allah. Jangan berbicara seperti itu,"

Sarah menangis pilu, mengenggam erat tangan Asma'. Hati yang terluka bercampur menjadi satu, bernama lara.

"Maafkan aku, Mbak," Asma' mengusap lembut punggung tangan Sarah, kemudian mencium punggung tangan kurus itu. "Maaf,"

"Aku tidak akan memaafkanmu untuk hal itu," desis Sarah terisak.

°°°°

Asma' duduk diam di kursi besi, termenung. Melamun diam menatap lantai putih kotak-kotak rumah sakit. Kedua tangannya yang berada di atas pangkuannya saling mengenggam erat.

"Asma', kamu pulang saja. Ibra butuh kamu," Erwin duduk di samping Asma'. "Ada apa?"

Menunduk diam, "Mas,"

"Ada apa?"

"Talak aku sekarang,"

"Asma'?"

"Aku mohon, talak aku sekarang," isak Asma' mengenggam erat tangannya. "Aku menangis, ya, Mas. Memang aku belum bisa mencintaimu, tapi aku menangis. Aku mohon dengan sangat, talak aku sekarang, Mas." ujar Asma' panjang.

"Aku mohon, talak aku, Mas." ulang Asma' dengan derai air mata yang tak bisa ia bendung.

Tasbih Cinta [FINISHED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang