BAB 6

2.2K 466 17
                                    

"Pelayan!"

Draco memesan secangkir kopi hitam ketiganya. Beretepatan dengan geliat sesosok rapuh di pundaknya. Akhirnya...

"Terima kasih untuk tidur nyenyaknya." Draco mengerjap. Melirik si pemuda berambut berantakan lewat ekor matanya. Ucapan bangun tidur yang tidak umum.

"Kau benar-benar tidak cocok untuk dipacari." Harry sedang sedikit kikuk untuk berusaha melepas kacamatanya, tubuhnya masih limbung sisa-sisa kantuk ehmmm... atau pingsan? Terserah yang mana, yang jelas pria itu sudah terlihat lebih segar sekarang.

Sambil mengucek matanya, remaja berkawat gigi itu menjawab, "Memangnya siapa juga yang memikirkan untuk punya pacar dalam waktu dekat ini?"

Reaksi pria ini menarik, pikir Sang Tuan Muda Malfoy. Ia tidak terlihat panik atau berusaha buru-buru bangkit. Draco yakin Harry Potter tidak cukup dungu untuk untuk tidak menyadari ia terbangun di tempat asing.

Pesanan kopinya datang, Draco berbasa-basi terima kasih. Kemudian menatap Harry dengan pandangan bertanya. "Coklat hangat saja." Dan pria bersurai platina bahkan tidak yakin dari mana datangnya kemampuan komunikasi tanpa aksara antara dia dan si Potterhead ini.

"Jadi ke mana perginya Si Tampan Diggory?" Draco hampir dibuat tersedak pada tegukan pertamanya. Kenapa si Potter ini harus membahas si Tuan Serba Sempurna itu sekarang sih? Sungguh merusak mood.

"Kau punya banyak pertanyaan penting lain yang seharusnya kau tanyakan bukan?" Harry tidak secepatnya memberi jawaban. Beberapa kali pria itu memijat pelipis. Berusaha menghilangkan pening.

Draco Malfoy menarik nafas dalam, diselingi rasa bersalah.

"Aku tidak cukup kuat untuk memapahmu sampai halte bis terdekat. Jadi, kuputuskan untuk mengistirahatkan dulu tubuhmu. Dan kedai kopi ini yang terdekat. Pelayan barusan sudah memberimu minyak aromaterapi tapi kau butuh waktu dua jam lebih untuk sad—" Draco menghentikan penuturannya. Nyata sekali bahwa ekspresi yang sedang ditampilkan Harry Potter di hadapannya saat ini adalah keheranan.

"Apa?" Bocah Potter itu merespon pertanyaan Sang Malfoy muda dengan gelengan sederhana, dan menutupnya dengan cengiran khas Potter miliknya.

"Satu coklat panas, selamat menikmati." Selang dari cengiran kuda milik Harry sampai perempuan montok yang bertugas malam ini datang memberikan pesanan Harry, ada sekitar lima menit. Hening.

Draco pindah ke sisi lain meja. Tadinya ia memutuskan untuk duduk di sisi yang sama dengan Harry untuk menahan bobot tubuh pria yang tak sadarkan diri itu tadi. Tapi sepertinya sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi.

"Memangnya kau harus pindah ya?" Lagi-lagi pertanyaan remaja berambut berantakan di depannya itu tampak tak masuk akal. Iris abu itu menatap berkeliling sambil menyusun kalimat yang tepat dan singkat untuk menjawab. Kalimat pendek berbau stoic, khas Malfoy.

"Tentu." Jadi Draco memutuskan untuk melontarkan kata itu tanpa tambahan klausa lain.

"Apa dua orang pria duduk berdampingan terlihat sangat memalukan?" Harry tidak menatap Draco saat mengatakan kalimat itu. Dan Draco yang sedang sibuk mengedarkan pandangannya untuk melihat sisa-sisa pengunjung kedai kopi itu tidak merasa perlu untuk buru-buru mengembalikan fokus. Menatap yang sedang jadi lawan biacaranya.

"Ah..." Baru setelah mendengar suara seakan menyadari sesuatu dari mulut si Potter muda, Draco Malfoy kembali menatap pemuda yang tampak sangat rapuh itu.

"Ck. Aku tidak tahu kalau aku seberat itu sampai kau tidak kuat untuk memapahku ke halte bis terdekat." Harry bertanya dengan percampuradukan ekspresi bingung campur tidak terima di wajahnya. Sedikit frustrasi mungkin.

Draco menebak Harry sedang memikirkan cara yang tepat untuk berdiet sekarang.

"Banyak dosa mungkin?"

Bibir Harry mencibir. "Lihat siapa yang bicara. Aku tidak tahu Ferret sepertimu masih bisa ingat dosa?!" Seringaian excited Draco kembali. Beradu mulut dengan pria ini memang membangkitkan adrenalin tersendiri.

"Asal kau tahu. Kau sudah tiga kali berhutang nyawa pada si Ferret ini." Harry mati kutu. Ia baru saja sadar bahwa Malfoy sudah terlalu sering menolongnya akhir-akhir ini. Apa mkasudnya sebenarnya? Harry tidak pernah tahu.

Harry lebih memilih buru-buru meneguk habis coklat hangatnya. Draco melihat gerak-gerik Harry yang jadi serba kilat. Ia menengok jam dinding kedai kopi itu. Pukul setengah dua belas malam.

"Ayo. Aku harus cepat mengantarmu pulang sebelum ibumu menelepon lagi." Harry mengerjap, baru saja ingat kalau ia janji pulang secepatnya setelah pertunjukan yang selesai jam sembilan tepat. Ia memanfaatkan jeda waktu sementara si pemuda Malfoy itu membayar tagihan, ia memeriksa telepon genggamnya. Mendadak rambutnya gatal saat melihat sepuluh panggilan tak terjawab dan lima pesan yang belum ia baca. Ia tak mau taruhan dengan siapapun, karena pihak manapun yang bertaruh kalau semua panggilan dan pesan itu dari ibunya pasti menang.

"Kenapa kau tidak menjawabnya?" Draco mengerjap sesaat ketika tiba-tiba saja dibentak oleh pria yang tadi susah payah dipapahnya.

"Aku tidak berani mengangkat telepon pribadi milik orang lain." Jawaban simple yang dalam sekejap membuat hati pria yang sebelumnya bertanya, mencelos. Ah iya. Aku orang lain.

Draco membaca garis kekecewaan di wajah pemuda itu. Ia tidak tahu apa yang ia kecewakan. Yang jelas ia merasa bersalah. "Lagipula saat kau kecelakaan saja kau tak suka saat aku menelepon ibumu."

Wajah itu membaik, rona merahnya kembali. Tentu, jawaban pertama adalah jawaban umum yang akan menjadi rekasi rata-rata orang saat berada di situasi seperti Draco barusan. Walau sebenarnya kalau Potter cukup jeli, dengan cepat ia tahu kalau itu cuma alasan basa basi. Toh, saat ia kecelakaan Draco sudah pernah cukup lancang memakai Handphone pribadi pemuda itu untuk menghubungi keluarganya.

"Roti?" Draco mengangsurkan setumpuk sandwich yang sepertinya masih hangat untuk Harry santap. "Kau pucat sekali saat pingsan tadi. Seperti belum makan dari kemarin." Harry terdiam, kemudian terbahak. Draco Malfoy menambahkan raut heran pada ekspresi di wajahnya yang biasanya tidak punya banyak ekspresi kecuali seringaian licik.

"Thanks." sepotong frasa itu keluar begitu saja dari bibir Harry setelah tawanya mereda.

Ia terbahak, untuk kenyataan bahwa semakin lama Draco semakin menyerupai peramal. Ia bisa membaca pikiran Harry dan sekarang tahu sudah berapa lama ia tidak makan.

Dan tawa itu untuk mengelabui hatinya. Yang tiba-tiba terasa sesak ketika memikirkan bahwa ia tidak lebih dari sekedar kawan situasional.

.

.

.

.

Voment buat baca lanjutannya :]

ASTRONAUT 🌜 Drarry [⏮]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang