KISAH 19: PACARAN?!!

69 6 13
                                    

BUDAYAKAN VOTE SEBELUM BACA
DAN KOMEN SETELAH BACA
HAPPY READING......

°•°•°•°

"Makasih Ka'."

Ardan tersenyum manis saat mendapati pipi Putri yang bersemu merah. "Sama-sama...Pa. Car," jawab Ardan dengan penekanan pada kata 'Pacar' dan mengedipkan sebelah matanya.

"Ya udah, kamu masuk dulu gih!"

"I-iya. Hati-hati Ka'," Putri menunduk dan berlari sekuat tenaga untuk masuk ke dalam rumahnya.

Saat telah masuk ke dalam rumahnya, Putri terduduk di lantai karena lututnya yang lemas dan jantungnya yang terus menggedor kuat seakan ingin loncat ke luar. Putri memeluk lututnya dan tersenyum dengan wajah yang sudah merah sampai leher dan telinga, layaknya orang gila.

Belum berhasil mengendalikan detak jantungnya, Putri terlonjak kaget karena dering ponselnya yang tiba-tiba berbunyi. Putri merogoh saku celananya dan mendapati Ardan yang menelpon. Tentu membuat Putri terkejut dan melepas genggamannya pada benda pipih persegi hitam metalik itu. Berulang kali Putri berusaha mengambil ponselnya, tapi selalu gagal karena tangannya yang masih bergetar hebat lantaran gugup dan malu. Ia menjadi kesal sendiri dan merengek hampir menangis karena tak dapat kembali menggenggam benda tipis itu, sampai dering telpon itu berhenti dan pada saat itu Putri baru sukses menggenggam kembali ponsel yang sialan tipisnya itu.

Putri terisak saking malunya pada sikapnya sendiri. Mengapa dia menjadi sangat gugup? Melebihi gugupnya pada saat presentasi di depan banyak orang saat membantu ibunya di perusahaan mereka. Ini benar-benar bukan Putri sekali, benar-benar bukan sifat Putri. Saat ia mendekap ponselnya dengan posisi duduk yang masih sama, benda itu kembali berdering lagi dan Putri terlonjak kaget, lagi. Putri yang memang sudah menetaskan air mata saking gugupnya, mengangkat telpon dari penelpon yang masih sama dengan suara serak hampir merengek lucu.

"Loh Vi? Kamu nangis? Kenapa?" Putri dapat mendengar nada khawatir Ardan di sebrang telpon. Dan itu semakin membuat bibir Putri bergetar dan air mata yang menderas entah mengapa.

"Aku...heks-heks...ga-ga papa kok...heks...Ka'," jawab Putri tergugu dengan tangan yang tak mengenggam ponsel meremas dadanya kuat.

Tak ada jawaban lagi dari Ardan. Yang dapat Putri dengar hanya suara grasak-grusuk tak jelas. Dan selanjutnya pintu yang berada di belakang Putri diketok--digedor dengan keras yang membuat Putri reflek mengesot menjauh dari depan pintu, karena kakinya yang masih lemas.

"Vi! Via!! Kamu kenapa?!! Aku masuk ya?"

Setelah mengucapkan itu, Ardan membuka pintu di depannya yang ternyata tak terkunci. Ardan terkejut saat melihat Putri dengan wajah memerah berderai air mata dan cairan di lubang hidungnya. Tangan kanannya masih menempelkan ponselnya pada telinganya dan tangan satu lagi menggepal erat di depan dadanya yang bergerak tak beraturan.

Ardan mendekat dan merengkuh Putri dalam dekapannya. "Kamu gak papa? Kamu kenapa?" tanya Ardan dengan tangan yang terus mengusap punggung Putri dan bibir yang terus mendaratkan kecupan pada puncak kepala Putri, berharap semua itu akan membuat Putri membaik.

Tapi semua itu sukses membuat Putri menangis kencang dan tangan yang memukul pelan sisi tubuh Ardan. Tak ada kalimat yang keluar dari mulut Putri. Karena jika ia berbicara, ia yakin hanya akan mengeluarkan suara serak yang sumbang, jelek, dan aneh untuk didengar. Ardan kelimpungan sendiri saat Putri meraung kencang, yang bisa Ardan lakukan hanya memeluk Putri lebih erat.

Lama mereka berpelukan layaknya teletubies, suara tangis Putri telah menjadi isakan kecil dan sudah tak ada pukulan kecil tak berarti yang diberikan Putri pada Ardan. Putri yang memang sudah lemas, sekarang benar-benar kehabisan tenaganya. Ia hanya bisa mengusap lendir hidungnya pada kaos Ardan dan Ardan sama sekali tak perotes akan hal itu.

KISAH MANIS DIBALIK HUJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang