9

1.1K 52 2
                                    

"Papa cuma seminggu di sana. Nanti papa usahain cepat pulang. Kita piknik bareng di Puncak ya!"

"Janji?" Suara manja Zara membuat ayahnya gemas.

"Janji deh." Diusapnya puncak kepala anak gadisnya itu.

"Ngelamunin apa sih, Ra?" tanya Keyla meneliti wajah sahabatnya.

Keyla akhirnya tahu kenapa wajah Zara muram. Ternyata Zara sedang memperhatikan foto ayahnya di ponsel.

"Lo lagi kangen sama bokap lo?"

Zara mengangguk pelan.

"Gue harus cari tahu."

"Gimana caranya, Ra? Lagian lo nggak punya petunjuk apapun."

Zara membuang muka, menatap pada luar jendela, pada dedaunan yang tertiup angin. Meski ia sadar ucapan Keyla benar, namun, tidak ada salahnya untuk berharap ada setitik cahaya meski saat ini yang ada hanya gelap gulita.

Drrtt!

Sebuah pesan WA masuk menyita perhatian Zara. Namun sedetik kemudian, wajahnya berubah kusut setelah mengetahui bahwa pesan itu sama sekali tidak ia harapkan.

Cowok Sinting: Gue lagi di taman samping. Beliin gue roti sama minuman dingin. Sekarang. Gak pake lelet.

Zara ingin memukul ponsel di genggaman, jika tidak ingat itu adalah ponselnya.

"Arkha lagi?"

"Iya! Gue harus gimana biar bisa cepet dapatin kamera gue?" tanya Zara mulai frustasi.

Keyla mengetuk-ngetuk dagu, berpikir keras. Lalu tiba-tiba bersorak.

"Gue punya ide."

%%%

Di jam istirahat, kantin adalah tempat yang paling ramai dikunjungi. Berbeda dengan taman sekolah. Hanya ada beberapa siswi yang duduk di kursi kayu, membaca novel. Zara memusatkan pandangan ke sekeliling. Namun telinganya telah lebih dulu menangkap suara lembut denting petikan senar gitar.

Zara menyukai suara gitar. Sejak dulu, sejak ayahnya tiap sore duduk di serambi bernyanyi sambil memetik gitar.

Ia mencari di mana sumber alunan nada indah itu. Antusiasme Zara enyah tiba-tiba setelah melihat Arkha duduk di salah satu kursi kayu dengan gitar di pangkuan.

"Ngapain lo tegak di situ? Mau jadi patung Pancoran?" teriak Arkha setelah mendapati Zara berdiri tidak jauh darinya.

Zara ingin balas meneriaki Arkha, tapi ia urungkan, demi mengingat ide Keyla tadi.

"Lo harus manis sama dia."

Meski sulit, dan rasanya berat sekali, Zara mencoba tersenyum pada Arkha. Ini adalah kali pertama ia tersenyum untuk cowok yang sangat dibencinya itu. Alhasil, senyumnya terlihat sangat tidak alami. Begitu dipaksakan.

"Nih, minumnya, Bos Arkha." Zara menekankan panggilan 'bos' sambil menyerahkan pesanan Arkha.

Arkha menyambut dengan perasaan curiga melihat gelagat aneh Zara. Tapi ia tidak terlalu memusingkan. Arkha segera meneguk minuman dingin itu hingga tinggal separuh.

"Lo nggak capek tegak terus? Duduk gih!"

Duduk berduaan di taman bersama orang yang sangat ingin dijauhi? Zara tentu lebih memilih enyah dari hadapan cowok sok kegantengan itu.

"Lo harus nurut sama dia."

Tapi, lagi-lagi, saran Keyla terngiang, membuat Zara terpaksa menyunggingkan senyum lalu duduk di sebelah Arkha.

"Tumben lo senyum," komentar Arkha masih merasa ada yang tidak beres pada Zara.

"Ya, nggak apa-apa, kan?" suara Zara kali ini pun disetel begitu lembut, berbeda dengan intonasi biasanya yang selalu jutek pada Arkha.

Arkha menatap menyelidik, namun kemudian teringat perutnya yang lapar. Ia kemudian melahap roti itu tanpa menoleh pada Zara yang menatap penuh kebencian, sambil tangannya mengepalkan tinju. Ketika Arkha menoleh, Zara cepat-cepat merubah ekrspresi wajahnya menjadi senyum sejuk sesejuk embun di pagi hari.

"Nanti gue punya dua PR. Bahasa sama Kimia. Lo bawa pulang aja buku PR gue. Senin pagi harus udah siap semuanya," ujar Arkha santai, seolah tanpa dosa.

"Lo harus dapatin alasan buat ada di rumah Arkha." Suara Keyla kembali membisik.

"Em, gimana kalau nanti gue kerjain PR-nya di rumah lo?" tawar Zara berbinar. Karena ini adalah kesempatan untuk bisa menggeledah rumah Arkha, mencari kameranya. Setelah itu, ia tidak perlu lagi menjadi budak Arkha.

Arkha menatap cuek. Sedang Zara berdebar menunggu jawaban Arkha. Setelah sekian saat berlalu dalam hening...,

"Nggak!"

"Kenapa?"

"Gue lagi ada janji nonton sama temen-temen."

Bahu Zara langsung melorot. Jawaban arkha membuatnya lesu.

"Lo pikir gue bego?"

"Hah?" Zara terekejut mendengar ucapan Arkha barusan.

"Gue tau sikap lo barusan pasti ada maunya. Dan gue juga tau tujuan lo ke rumah gue cuma untuk nyari kamera lo, kan?"

Zara diam membisu, pura-pura melihat bunga di sekeliling taman.

"Lo, nggak akan pernah nemuin rumah gue. Karena nggak ada yang tahu rumah gue selain Bimo dan Haris. Dan mereka nggak akan pernah kasih tau di mana rumah gue."

"Terserah! Gue nggak peduli rumah lo ada di planet Venus atau Jupiter!" kesal Zara seraya bangkit dan bergegas pergi. Namun baru beberapa langkah, Zara kembali menoleh. "Gue juga nggak butuh bantuan Haris ataupun Bimo!" katanya penuh penekanan, dan kembali melanjutkan langkah cepatnya.

Arkha justru tertawa.

"Kumat lagi deh juteknya."

%%%

Sekali lagi Zara menoleh ke arah Arkha yang kembali asik dengan gitarnya. Kini ia telah tiba di koridor. Memastikan aman dari pengawasan Arkha, Zara berjalan cepat ke kantin. Setelah menemukan targetnya, ia menghampiri dengan tergesa, lalu berbisik.

"Haris, Bimo. Gue mau ngomong. Ikut gue."

Kedua cowok yang merasa namanya disebut itu saling tatap, bingung, kemudian bardiri dan mengikuti langkah Zara. Mereka tiba di samping kantin.

"Kalian tau di mana rumah Arkha, kan? Plis, kasih tau gue." Zara bicara to the point, tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan dua cowok tengil itu.

"Ya ampun, Ra. Gue kira lo bakalan nembak gue sambil bawa Haris sebagai saksi," seloroh Bimo kepedean.

"Hayalan lo ketinggian amat," ejek Haris terpingkal.

"Udah-udah. Gue nggak punya waktu buat bercanda sama kalian. Sekarang kasih tahu gue alamat rumah Arkha," tegas Zara tidak sabar.

Haris dan Bimo kompak mengetukkan jari di kening, sambil berlagak seolah mengingat-ingat sesuatu.

"Cepetan!" Zara semakin tidak sabar melihat tingkah kedua makhluk aneh itu.

"Gue lupa," jawab Bimo dengan muka polos.

"Gue juga mendadak nggak inget," tambah Haris sama memasang raut tidak berdosa.

"Kalian..., uggh!" Zara mengentakkan kaki, seperti anak kecil yang tidak diijikan beli permen. "Gue serius!"

"Kita juga serius." Haris dan Bimo kompak mengentakkan kaki, meniru Zara.

Zara yakin, pasti mereka sudah diperingati Arkha untuk ikut berkomplot. Merasa percuma bicara pada dua makhluk menyebalkan itu, Zara memilih pergi dan menyusun rencana lain.

%%%

Sweety Boss [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang