23

993 53 0
                                    

"Gue di kantin. Temenin gue sarapan."

Zara menutup buku Kimia yang ia baca untuk persiapan ulangan harian jam pertama nanti. Tubuhnya terasa ringan untuk berdiri dan beranjak menuju kantin. Tidak seperti biasanya yang selalu kesal setengah mati tiap mendapat pesan dari Arkha.

Cici dan Keyla melongo memperhatikan Zara yang tiba-tiba pergi tanpa sepatah kata.

Arkha melambai ketika Zara tiba di kantin. Di luar gerimis turun perlahan. Arkha kembali menyantap bakso, sambil sesekali mengaduh perih di bagian bibirnya yang luka. Zara mendaratkan bokong di samping Arkha.

"Ya ampun, Kak. Kakak kenapa?"

"Siapa yang bikin Kakak kayak gini?"

Tiga siswi berbandana pink polkadot dengan rambut panjang tergerai mengerumuni Arkha sambil mengamati lekat-lekat wajah lebam cowok itu. Arkha meladeni gadis-gadis itu dengan candaan. Tidak lupa ditambah senyum manis yang memikat. Zara risih akan pemandangan itu.

"Ngapain lo nyuruh gue ke sini?" Zara baru bersuara setelah rombongan cewek itu pergi.

"Gue masih dalam tahap pemulihan. Lo harus jagain gue."

"Kenapa harus gue? Lo sendiri yang bikin ulah." Zara melengos malas.

"Eitt! Karena gue bos. Dan bos itu selalu benar."

Arkha melanjutkan melahap bakso. Zara diam-diam mengamati luka di wajah cowok itu. Pelipis dan pipinya masih bengkak. Tidak dipungkiri, hati Zara merasa prihatin. Segalak dan sejutek apapun Zara, ia sebenarnya memiliki hati yang lembut.

"Segitu pedulinya dia sama lo." Arkha tiba-tiba bersuara. "Sampai segitu marahnya dia setelah tau kamera lo gue sita." Ia menoleh pada Zara yang sok sibuk memainkan ponsel.

"Kamera itu berarti banget ya buat lo?"

Zara menoleh dengan tatapan tajam.

"Kalau lo tahu, buruan balikin!"

Arkha mencebik.

"Bokap lo kayak apa, sih, sampai segitu pentingnya kamera itu?"

Zara tertegun. Bicara tentang ayah, ayah adalah sosok yang sangat membanggakan baginya. Ayah yang terkadang menjelma sebagai sahabat, ayah yang selalu asik diajak bercerita, ayah yang selalu meluangkan waktu untuk ia dan keluarga, ayah yang selalu peduli pada sesama. Ayah yang tidak pernah marah ketika gojek yang ditunggunya telat, dan ayah yang selalu memberikan hadiah pada orang-orang terdekat, entah itu adalah sekretaris, atau karyawan bawahan yang akrab dengannya.

"Ayah itu..., orang yang paling hebat." Zara tersenyum meski kedua matanya menghangat.

"Beda sama gue."

Zara menoleh dan meneliti wajah Arkha yang berubah pias.

"Lo bangga sama ayah lo. Sedang gue, gue ngerasa nggak lagi punya ayah. Gue anggap gue nggak pernah punya ayah."

Zara tiba-tiba teringat Niko yang juga terlihat sedih saat menyinggung tentang ayah. Ia menjadi penasaran apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga mereka. Juga tentang Princess yang membuat Zara ingin tahu lebih banyak.

"Nggak baik ngomong gitu," kata Zara mengingatkan.

"Itu pantes buat dia. Bokap gue..., dia menghianati mama. Dia bahkan sampai bawa perempuan lain ke kamar. Dan mama sendiri yang mergokin. Mereka bertengkar hebat, dan alasan papa karena mama waktu itu sibuk ngurus butik, mama sampai jarang pulang dari butik, dan papa sibuk di kantor, itu yang jadi alasan papa ninggalin mama."

Arkha menghela napas sesak, lalu melanjutkan, "sebenarnya mama nggak layak disakiti. Mama bekerja keras demi gue dan Niko, tapi papa sama sekali nggak bisa ngertiin mama. Gue kecewa sama papa. Rasanya semua sumpah serapah nggak akan cukup buat nuntasin rasa kecewa gue."

Sweety Boss [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang