21

958 48 0
                                    

Jalanan kota sore itu sedikit lengang, udara hangat sesekali membelai pipi Zara. Ia melingkarkan tangan di perut Dirli yang mengantarnya pulang dengan motor ninja hijau itu. Senyum Zara terus terukir di wajah, mengenang penampilan drama mereka sukses meraih juara kedua melawan SMA bergengsi lainnya.

Di tengah deru bising kendaraan, Dirli membuka obrolan.

"Kamu kayaknya dekat sama cowok itu."

"Siapa, Kak?"

"Yang kamu pasangkan dasinya."

"Oh..., dia, itu..., tadi dia maksa, Kak. Tapi, dia beneran bukan siapa-siapa. Kami nggak dekat, kok." Zara tiba-tiba menjadi gagap. Ia memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Arkha, namun tetap saja ia cemas jika Dirli marah.

"Kamu jangan dekat-dekat lagi sama cowok aneh itu, ya."

"Iya, Kak." Zara menghela napas lega. Dari nada bicara Dirli yang lembut, sepertinya ia tidak terlalu mempermasalahkan soal Arkha.

Ketika mereka tiba di rumah, bunda langsung menyambut hangat Dirli. Cowok itu membuka tas dan memberikan oleh-oleh pada Bunda, yaitu kain batik khas Jogja dan kaos wisata untuk Meli. Juga sekantung besar makanan khas Jogja. Bunda dan Meli menyambut dengan riang.

"Ayo, Ra, kita masak buat Nak Dirli," ajak Bunda gembira. Zara dan Meli langsung membantu Bunda masak. Ternyata Dirli pun ikut nimbrung. Jadilah Dirli dapat bagian iris-iris sayuran. Suasana di dapur jadi ramai oleh suara goreng-menggoreng dan percakapan hangat. Sesekali Dirli bercanda, membuat Bunda dan Meli terpingkal. Zara tersenyum memperhatikan mereka. Ia bersyukur dianugerahi seseorang yang begitu baik seperti Dirli. Memberikan kebahagiaan baru dalam keluarganya.

Setelah hidangan matang, mereka makan bersama. Dirli berkali-kali memuji masakan bunda, membuat bunda tersenyum malu. Usai makan, Dirli dan Zara duduk berduaan di teras. Dirli menunjukkan hasil bidikannya selama di Jogja. Zara terpukau akan keindahan pemandangan kota keraton itu.

"Oh, ya. Kamera kamu mana?"

Zara merasa petir tiba-tiba menggelegar di senja bolong. Ia menelan air liur dengan susah payah.

"Ah, itu, eh, dipinjam temen!" seru Zara mendapat ide berbohong.

Dirli mengerutkan dahi.

"Tumben kamu minjemin kamera ke temen? Biasanya kalau Cici atau Keyla yang pegang, kamu sudah marah-marah."

Zara menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Sepertinya tidak mudah untuk membohongi Dirli.

"Jadi, siapa yang pinjam? Cici atau Keyla?"

"Itu..., Keyla."

"Oh, yang penting dia harus jaga baik-baik kamera kamu."

Zara mengangguk sambil menyunggingkan senyum kikuk. Diraihnya ponsel dan langsung mengirim pesan WA pada Keyla untuk mengajaknya berkomplot.

%%%

Bel masuk sebentar lagi berbunyi. Beberapa siswa berlarian dari gerbang, tidak ingin terlambat. Salah satunya adalah Keyla. Ia menambah laju lari, namun tiba-tiba kakinya terpaku di tanah ketika seseorang menghadangnya.

Keyla gemetar melihat cowok tampan yang sedang tersenyum untuknya. Senyum yang... misterius. Membuat napasnya tercekat.

"H-hai, Kak!" sapa Keyla canggung.

"Hai, Keyla. Tumben telat."

Yuda yang berjalan di koridor membawa buku paket dari kantor menghentikan langkah ketika menangkap Keyla yang sedang berbincang dengan Dirli. Penasaran, Yuda mendekat, mencari jarak aman untuk mendengar lebih jelas. Ia mendadak tertarik karena gelagat Keyla terlihat sangat cemas.

"Oh, ya. Bener kamu pinjam kameranya Zara?"

Keyla merasakan kedua kakinya gemetaran. Padahal ia sudah sarapan.

"I-iya, K-kak."

"Boleh gue lihat kameranya?"

Aduh, mampus gue!

"Itu, kameranya di rumah, Kak! Aduh lupa bawa!" Keyla menepuk dahinya.

Dirli manggut-manggut.

Bel berdentang nyaring, serasa bagai dewa penyelamat bagi Keyla. Bersyukurlah ia punya alasan untuk segera kabur.

"Udah bel, Kak. Aku masuk dulu!" Keyla langsung lari tunggang langgang, sementara Yuda bersembunyi di balik tiang.

Dirli bukan seseorang yang mudah dibohongi. Sejak Zara berkata kameranya dipinjam teman, Dirli tahu Zara tidak jujur. Itu mengapa ia nekat mendatangi sekolah Zara pagi ini demi bertemu Keyla. Dan reaksi Keyla tadi semakin membuatnya yakin kalau ada sesuatu yang terjadi dengan kamera Zara. Dan tentang Arkha, Dirli penasaran siapa cowok itu, kenapa Zara bisa dekat dengan seseorang seperti itu, sedang ia tahu Zara tidak mudah bergaul dengan sembarang orang, apalagi tipe cowok tengil seperti Arkha.

"Lo nyari kamera Zara?"

Dirli membalikkan badan dan mendapati Yuda berdiri di belakangnya.

%%%

"Gila, serem amat bu Asni! gue jadi tegak di luar sendirian. Sialan! Lo sih ninggalin gue!" Udin memelototi Haris yang terbahak. Mereka berjalan beriringan menuju parkiran.

"Lo sih asik aja makan. Udah tahu bel masuk!" Bimo menoyor kepala Udin.

"Ya kan gue kira bukan jam bu Killer. Lo sih, Ris. Lo bilang jam kesenian."

Haris masih terpingkal, berhasil mengerjai temannya. Udin yang tidak pernah mengingat urutan jam pelajaran membuatnya mudah dibohongi. Jadilah Udin diusir oleh bu Asni karena terlambat masuk kelas.

Arkha ikut tertawa. Namun tawa mereka seketika lenyap ketika seseorang menghampiri. Atmosfer di sekeliling mereka mendadak terasa horor.

"Lo yang namanya Arkha?" tanya Dirli mengangkat kedua alisnya.

Arkha terdiam sejenak. Sepertinya ia mencium gelagat tidak menyenangkan.

"Jadi lo sekarang penasaran sama gue?"

Dirli tertawa jengah.

"Gue tunggu lo di kafe depan!" Tanpa menunggu jawaban, Dirli berbalik menuju mogenya dan melesat pergi.

"Kalian denger? Let's go!" Arkha bergegas menuju mobil mewahnya, diikuti ketiga temannya.

"Yakin, lo?" Bimo memastikan.

"Nggak usah dateng, Kha," bujuk Haris.

"Pulang, yuk," rengek Udin menarik tangan Haris.

"Nggak bisa. Gue bukan pengecut kayak kalian!"

%%%

Sweety Boss [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang