Chapter 9: Bulan Purnama
Happy Reading
Enjoy!!!
~~~~~Eve POV
Aku meringkuk lagi diatas kasurku. Kepalaku terasa berat, napasku tersengal-sengal, tulang-tulangku nyilu, semua rasa sakit itu membuatku susah memejamkan mata. Aku berteriak lagi, tak kuasa menahan rasa sakit. Bibir bawahku berdarah karena selalu kugigit untuk mengalihkan rasa sakit. Aku sudah memasang mantra pembisu disekelilingi tempat tidurku.
Aku segera turun. Mengganti piamaku dengan jeans, dan sweater yang dilapisi jaket tebal. Tak lupa aku melilitkan syal Gryffindor disekeliling leherku. Aku mengecek situasi. Aman. Lily, Marlene, Alice dan Hestia tertidur dengan lelap. Aku berjalan menuju Kamar Mandi Myrtle Merana.
"Kau sudah siap?" Tanyanya.
Aku hanya mengangguk.
"Kau tahu, kalau sesuatu yang buruk terjadi, kau bisa tinggal disini bersamaku. Kau bisa pakai toilet diujung sana." Mrytle menunjuk toilet paling suram diujung koridor disebelah kanan bersebelahan dengan koridor miliknya.
"Terimakasih, Mrytle. Akan kuingat jika aku mati nanti." Kataku suram. Myrtle hanya cekikikan.
Aku mencek ramuan yang kubuat. Asapnya masih menggepul. Ramuannya berwarna magenta, menandakan ramuan itu sudah siap untuk dikonsumsi menurut perhitunganku. Ya, aku sendiri yang menciptakan dan meramu ramuan itu. Karena belum ada ramuan untuk kondisiku saat ini. Setidaknya begitulah yang dikatakan Dumbledore. Jadi aku berinisiatif untuk menciptakan ramuan itu untuk mengurangi rasa sakit dan mengurangi bahaya yang mungkin terjadi akibat ulahku nantinya.
Hanya saja apakah ramuan itu aman? Aku tak tahu dan tidak mau tahu. Aku akan mengambil apapun risikonya untuk mengurangi rasa sakit ini. Walaupun itu berarti aku harus menjadi kelinci percobaan dalam percobaan sendiri. Tapi tak mengapa, asal aku tidak mencelakakan orang lain.
Aku meminum ramuan berwarna magenta itu. Ramuan itu terasa lebih buruk dari hanya sekedar definisi rasa pahit. Ramuan terasa membakar kerongkonganku begitu aku menelannya. Aku memaksa diri meneguk minuman itu. Lidahku terasa kelu. Badanku lemas. Aku hendak makan coklat yang ada dikantung jaketku, hanya saja aku takut jika coklat hanya akan membuat ramuannya menjadi tidak berfungsi.
Aku berjalan keluar kastil. Langkahku terhenti ketika melihat Remus berjalan menuju Whomping Willow. Aku hendak memanggilnya untuk segera menyingkir dari pohon itu. Tapi bulan semakin menggantung tinggi. Bentuknya semakin sempurna walaupun ditutup awan. Aku segera melarikan diri ke pondok yang kukunjungi tadi siang. Bersembunyi hingga bulan purnama memudar.
Remus POV
Sehabis membuntuti Eve siang tadi. Rasa sakit yang kurasa semakin terasa. Malam ini bulan purnama. Sudah jadi rahasia bagi semua guru Hogwarts dan Para Marauders kalau aku adalah seorang manusia serigala. Setiap malam bulan purnama aku akan mengunjungi Whomping Willow dan bertransformasi disana. Aku sudah menjadi seorang manusia serigala sejak berusia kurang dari empat tahun.
Hidupku hancur dimalam itu. Malam ketika seorang manusia serigala bernama Fenrir Greyback menggigitku. Awalnya kukira ia menggigitku karena ia tak kuasa menahannya. Karena naluri werewolfnya, yang bisa membaui manusia. Tapi ketika berumur tujuh tahun, ketika mencuri dengar pertengkaran ayah dan ibuku, aku tahu, Greyback memang merencanakan hal itu. Ia sakit hati karena ucapan ayahku yang membuat ia dikucilkan dari dunia sihir karena statusnya sebagai seorang werewolf.
Ia mendatangi daun jendela kamarku malam itu, menunggu bulan purnama penuh dan menggigit leherku. Ayah dan ibuku berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkanku. Namun hal ini tak bisa disembuhkan, tak bisa dicegah maupun diubah. Para healer pun sudah menyerah. Aku tak lagi berharap mendatangi Hogwarts atau sekolah sihir manapun. Mana ada kepala sekolah yang waras mau menerima seorang werewolf sebagai salah satu muridnya.
Namun itulah Dumbledore. Ia berbeda dengan definisi orang waras pada umumnya. Waktu itu aku menganggapnya gila, memperbolehkanku bersekolah di Hogwarts. Namun, jauh dalam lubuk hatiku, aku berterimakasih sekali diberi kesempatan ini. Walaupun aku cemas dengan fakta aku bisa saja melukai murid lain, aku tak bisa membendung suka citaku untuk pergi ke Hogwarts. Semua penyihir di kawasan Britania Raya bercita-cita bersekolah di Hogwarts ketika mereka berusia 11 tahun.
Tahun-tahun di Hogwartsku begitu menyenangkan. Tidak hanya karena aku bisa bergaul dengan penyihir-penyihir lain seusiaku, aku juga menemukan tiga sahabat baik. James Potter, Sirius Black, dan Peter Pettigrew.
Kami bersahabat erat. Sama-sama masuk asrama Gryffindor dan menjadi teman sekamar bersama dengan Frank Longbottom. Sahabat-sahabatku ini, lebih ke James dan Sirius, lalu aku dan Peter, menemani mereka, yang selalu berbuat onar. Kami sudah mendapatkan detensi dari semua Professor Hogwarts di tahun pertama.
Begitulah kedekatan kami. Karena kedekatan ini jugalah, mau tak mau mereka memperhatikan keabsenan ku setiap sekali sebulan. Kenapa aku selalu menghilang sehari sebelum dan sehari sesudah bulan purnama.
Aku mengarang berbagai alasan. Mulai dari ibuku sakit, atau nenekku sakit. Bahkan alasan yang tidak masuk akal seperti aku terjatuh dari tangga, terguling-guling mematahkan tulangku. Tentu saja mereka tidak percaya. Meskipun pembuat onar, mereka itu pintar. Mereka hanya mengiyakan semua alasan tak masuk akalku.
Sampai ditahun ketiga kami di Hogwarts, mereka memberanikan diri menanyakan kondisiku. Jika mengingat hal itu lagi membuatku ingin tertawa.
"Remus, kami tahu tentang kondisimu." Pernyataan Sirius itu membuatku tersedak jus labu yang sedang kuminum.
James melemparkan sapu tangan kearahku, sembari tertawa karena semburan jus labuku mengenai rambut Sirius. Sirius menggerutu, mendesis marah rambut sempurnanya rusak. Peter hanya tertawa. Setelah suasana tenang, Sirius kembali menatapku serius. Kali ini menanyakan kebenaran asumsi mereka.
"Apakah kau Vampir, Remus?" Sirius bertanya dengan tampang seriusnya. James dan Peter memperhatikan dengan khidmat. Demi melihat wajah serius teman-temanku, aku meledak tertawa.
"Apanya yang lucu, Remus?" Tanya Peter bingung.
Aku berbicara ketika tawaku mereda. Tak ada gunanya lagi menutupi rahasia ini dari mereka. Akan kuterima risikonya jika mereka tak mau lagi berteman denganku. Aku sudah merasa bersalah tiga tahun ini menyembunyikan hal ini dari mereka.
"Aku bukan Vampir. Aku werewolf." Kataku menunduk.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Moon, Love, And Tragedy (Harry Potter: Marauder's Era)
FanficEvelyn, gadis berusia 15 tahun itu akan memasuki sebuah sekolah. Tapi bukan sekolah biasa. Itu sekolah sihir bernama Hogwarts. Disana ia menemukan kenyamanan berteman dengan empat laki-laki terpopuler di sekolah (Marauders) dan menguak kisah tentang...