Kia tumbuh dengan pandangan sempurna yang dilihat orang lain. Hidupnya tidak punya cela. Ia lahir dengan fisik sempurna, hidup dalam keluarga menengah ke atas yang menjujung tinggi norma. Ia seperti seorang pangeran yang dibesarkan di sebuah kastil kaca dimana orang lain hanya bisa memandangnya dari jauh tanpa boleh menyentuhnya.
Tidak, sampai Mami meninggal dan meninggalkan luka yang Kia kecil tidak tahu namanya sampai ia beranjak dewasa.
Kesempurnaan itu lenyap dalam sekejap tak bersisa. Namun Kia tahu betul, mereka yang di luar sana, tidak bisa melihat bahwa ia sebenarnya terluka, dan kesempurnaan itu nol besar baginya.
Ia memang punya Papi, Ibu dan Aksa kemudian. Hadir merajut rumah baru yang pelan-pelan membangun harapan Kia kecil yang sempat hilang. Tapi, sekali lagi, semakin bertambahnya usia, Kia tahu kebahagiaan itu bukan miliknya sepenuhnya. Ibu, memang menjadi Ibu sambungnya, tapi sampai kapanpun tetap dalam porsi berbeda.
Setiap Kia melihat Ibu mengelus rambut Aksa, ada sepercik luka yang memantik, meski Ibu melakukan tindakan yang sama terhadapnya. Mungkin, beda rasanya jika Mami yang melakukannya.
Kia paham betul ia menyayangi Ibu sedalam Aksa yang juga menyayangi Ibunya. Tapi tentu saja, ada sekotak perasaan lain yang terselip disudut hatinya, perasaan canggung yang mulai terasa seiring bertambahnya usia.
Maka, selama ia tumbuh dalam lingkungan 'sempurna' menurut pandangan orang lain, Kia mau tidak mau harus bisa bermain dengan emosi dan perasaannya sendiri.
Ia harus selalu bisa mengontrol apapun. Mana yang boleh ia perlihatkan, mana yang tidak. Hal itu pula yang menumbuhkan tunas kepekaan dan sentimental dalam dirinya.
Ia perasa dan peka.
Karena itu pula, ia tidak berani menerima, namun lebih memilih memberikan. Tidak peduli dengan luka yang bisa saja menggores hatinya, asalkan ia bisa tetap terlihat bahagia dengan memberikan 'dirinya' lalu mengkamuflase sempurna yang sudah membentuk imejnya.
Tapi, kali ini, untuk pertama kali, Kia menyadari satu hal yang luput dari pengamatan dan kepekaannya. Ia tidak sendiri.
Ada satu manusia yang tak ubahnya dirinya. Seseorang yang selalu terlihat sempurna karena hidup dalam kastil putri yang membuat orang lain iri. Seseorang yang sejak belia selalu disandingkan dengan dirinya karena kesempurnaan itu menjadikan mereka menerima gelar putri dan pangeran. Mengundang decak kagum dan rasa cemburu dari banyak pasang mata.
Kia merasa tertohok karena ia sibuk menyembunyikan topeng dalam dirinya dan lupa untuk melihat satu keping hati yang sama-sama mengkamuflase keadaan.
Tita sedang menyembunyikan luka, yang mungkin lebih besar darinya.
•••••❄❄•••••
Setelah beratus percakapan yang melesat ke udara, diselingi canda dan tawa yang berjam-jam mengikis waktu mereka, keempatnya beranjak untuk pulang.
Tita akhirnya harus menyerah pada kesepakatan untuk pulang bersama Kia, karena udara malam tidak mengizinkan Aksa untuk membonceng Tita pulang.
Akhirnya, Kia terjebak dalam satu kotak yang sama dengan dua perempuan yang kini sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tanpa satupun percakapan yang mengisi udara kosong disana.
Kia berdeham, memilih memutar radio di tape mobilnya, membiarkan suara VJ berceloteh ria diantara hiruk piruk lalu lalang kota.
Tidak begitu lama, sampai Ody membuka percakapan pertama.
"Gimana ceritanya kalian bisa jadi sahabat gitu?"
Kia tidak langsung menjawab, ia melirik Tita yang diwaktu bersamaan juga menangkap matanya lewat kaca yang menggantung di langit-langit mobil.

KAMU SEDANG MEMBACA
Somewhere Only We Know
Fanfiction[COMPLETED] Rencana semesta menjadikan Aksa dan Kia bersaudara. Berbagi suka dan duka selama belasan tahun menjadikan mereka saling mengerti dan mengenal satu sama lain sebagaimana mereka mengenal diri mereka sendiri. Segalanya berjalan sempurna, s...