A couple months later....
Aksa
Ibu sejak tadi mondar-mandir gelisah. Sesekali memeriksa riasan miliknya, merapikan kemeja dan jas Papi, mengomentari penampilan gue, atau meneriakan nama Arin sampai belasan kali karena adik perempuan gue itu dandan sangat lama. Setelah Arin turun dengan sedikit mengomel, kami akhirnya keluar dari rumah dan bergegas untuk pergi.
Sabtu sibuk di hari wisuda Kia. Iya, saudara gua yang maha sempurna itu dengan songong lulus lebih dulu karena berhasil kuliah cepat selama 7 semester, dengan predikat cumlaude dan memilih wisuda disaat gue sedang sekarat-sekaratnya revisi skripsi.
Maka pagi ini, gue harus rela menjadi supir, sekaligus menjadi seksi segala sibuk dan siaga kuping mendengar wejangan Ibu, karena Kia sudah pergi lebih dulu untuk apel dan gladi bersih.
"Awas aja kamu ya Bang kalo lebih dari semester 8."
"Ya ampun Ibu, jangan doain begitu. Bentar lagi juga sidang kok." Gue membela diri.
"Abang gak tau aja sih, Ibu sampe bikin dua setelan seragam wisuda berbeda jadinya." Gue dapat mendengar Arin mengompori.
"Kenapa sih, Bu? Sayang biaya tahu."
Ibu yang duduk di belakang terdengar berseru, "Ya masa Ibu, Papi kamu, Arin sama Kia pake baju yang sama pas kamu wisuda nanti?"
Gue ingin sekali mengumpat, tetapi takut dikutuk jadi batu. Jadi gue hanya berusaha merespon dengan santai.
"Gak ada yang bakal merhatiin Ibu."
"Gak mempan membela diri saat ini, Abang. Nyetir aja buruan, nanti telat."
Gue hanya mengelus dada. Jadi gini ya rasanya jadi pelampiasan Ibu-Ibu kalau sedang naik tensi. Gue harus getok kepala Kia karena dia bikin gue jadi bulan-bulanan Ibu saat gue gak bisa lulus cepat kaya dia. Padahal gue gak bodoh-bodoh amat kayaknya, Kia aja yang mungkin yang kepintaran.
Setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu lama, gue memarkirkan mobil, mengekori Ibu dan Papi yang sangat tegang ke salah satu balai tempat pengukuhan Kia. Gue hanya mengantar sampai depan, karena hanya orangtua yang diperbolehkan masuk. Sementara gue dan Arin menunggu di luar gedung yang mulai ramai dengan banyaknya orang berdatangan. Gue mengenakan seragam batik yang sama dengan Arin, yang sesekali mengundang perhatian banyak orang.
Arin tampak mengomel terus karena bosan, sampai akhirnya gue melihat satu perempuan dengan warna batik dan rok songket senada melambai, satu set seragam sama yang dibuatkan Ibu karena sudah menganggap perempuan itu bagian dari keluarga kami, atau lebih tepatnya Ibu selalu mengakuinya sebagai calon menantu, yang kini datang ditemani satu remaja laki-laki yang gue kenal membawa sebuket bunga ukuran besar.
"Duh gue udah oke, kan? Gue udah rapi, kan?" Ody, perempuan itu kini sama gelisahnya seperti Ibu.
Karena tidak mendapat jawaban apapun dari gue, Ody beralih pada Arin untuk meminta pendapat yang pada akhirnya membuat mereka sibuk berdua membenahi dandanan satu sama lain.
Gue kini terjebak dengan semi-rival gue. Iya, si Jio, yang dulu di gadang-gadang Ody untuk dijodohkan dengan Tita. Jio yang kini sibuk update sosmed untuk wajib lapor pada followers-nya yang sudah mencapai angka 300k.
Upacara pengukuhan hampir dua jam penuh. Sampai akhirnya gue melihat para wisudawan yang sudah dikukuhkan keluar dari pintu gedung dengan wajah sumringah sambil melempar topi toga dan berteriak bahagia. Cukup ramai yang membuat gue tidak dapat menemukan Kia.
Yang gue temukan pertama kali adalah Ibu yang menangis dirangkulan Papi yang juga tampak terharu. Tangisan bahagia yang membuat gue dan Arin ikut memeluknya. Mungkin begitulah gambaran wajah para orangtua saat melihat anaknya sukses meraih gelar dengan sempurna. Karena merasa perjuangan mereka membesarkan dan mendidik anak-anaknya tidak sia-sia. Gue terenyuh, ingin segera membahagiakan Ibu dan Papi dengan pencapaian serupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Somewhere Only We Know
Hayran Kurgu[COMPLETED] Rencana semesta menjadikan Aksa dan Kia bersaudara. Berbagi suka dan duka selama belasan tahun menjadikan mereka saling mengerti dan mengenal satu sama lain sebagaimana mereka mengenal diri mereka sendiri. Segalanya berjalan sempurna, s...