Dengan uang yang Guanlin punya, ia menginap di losmen yang lumayan jauh dari rumahnya."Gue capek, bangsat!" umpatnya.
Sampai di kamar losmen, Guanlin merebahkan dirinya di kasur. Merasakan kenikmatan atas empuknya kasur tersebut.
Sedetik kemudian air matanya mengalir, lengan kanannya menutupi kedua matanya. Guanlin rindu mama.
"Kalo aja Herin gak lahir pasti mama masih ada kan... Hiks... hiks..."
Keluarga Guanlin bukan keluarga yang berada, tapi semua kebutuhan hidup masih bisa terpenuhi.
"Anggap Guanlin durhaka sama papa dan Herin. Tapi mau gimana lagi, Guanlin udah capek, Tuhan... Guanlin mau mama..."
Saking capeknya menangis, Guanlin tertidur pulas sampai puluhan panggilan dari papa dan teman-temannya tidak terjawab.
Pukul 7 pagi ia baru terbangun. Pertama ia mengecek ponselnya dan mendapati banyak notifikasi panggilan.
Melihat notifikasi panggilan dari papanya, membuat Guanlin memutar bola matanya malas.
"Oh iya, hari ini harus transaksi!"
Guanlin mengingat sesuatu yang penting sewaktu melihat catatan di ponselnya. Ia langsung bergegas mandi dan bersiap.
Guanlin mengenakan setelan denim dengan masker hitam dan topi. Tak lupa tas selempang kesayangannya.
Orang yang hendak ia temui sudah menunggu di dekat tempat sampah besar tidak jauh dari losmen beserta barang yang akan Guanlin beli. Ia segera menuju orang tersebut dan membuka maskernya.
"Ini pesenan lo." Orang itu memberikan Guanlin sebungkus barang berkantong hitam.
"Thanks. 500 ribu kan?"
Orang itu mengangguk. Keduanya sukses melakukan transaksi bodoh tersebut.
Guanlin kembali ke losmen dengan perasaan campur aduk. Berani sekali ia melakukan hal terlarang seperti ini.
"Tapi duit gue..." keluh Guanlin. "Ah udahlah gak apa-apa."
Tanpa pikir panjang, Guanlin membuka bungkusan tersebut mulai meneliti seperti apa benda terlarang tersebut.
"Ini bakalan jadi pelarian terbaik gue. Iya kan?" ucapnya meyakinkan diri sendiri.
Tapi detik berikutnya Guanlin memeluk lututnya, menangis. Ia baru merasa bersalah dengan semua ini. Tidak seharusnya ia menghindar dari papa juga adiknya.
Perasaan labil Guanlin membuat dirinya seakan tercekik dengan keadaan.
"Gue benci remaja. Gue benci mimpi basah! Gue benci sama diri gue sendiri!!"
Guanlin mengambil bantal, membekap wajahnya pada bantal dan menangis kencang sampai dadanya terasa sesak sekali.
Ia masih sesegukan sewaktu papanya menelepon kembali. Dengan keadaan yang kacau, Guanlin memberanikan diri mengangkat panggilan tersebut.
"H-halo?"
Suara Guanlin yang parau membuat Daniel terdiam, tidak jadi memarahi Guanlin.
"Kak?"
"Iya, pa?"
"Syukurlah... Kamu dimana sekarang? Papa jemput."
Guanlin kembali menangis. Bahkan Daniel tidak marah pada Guanlin setelah ia meninggalkan rumah.
"Kakak kok malah nangis? Herin kangen nih katanya. Pulang ya?"
"Pa..."
"Iya, kak? Kamu pulang ya, papa mohon."
Suara lembut Daniel diseberang sana membuat Guanlin makin menangis. Ia salah, Guanlin benar-benar salah. Tapi ingatan tentang Daniel yang menampar pipinya kembali terputar.
Guanlin berpikir apa jadinya ia jika pulang dan membawa barang terlarang ini ke rumah. Mungkin Guanlin sudah dicaci maki bahkan dicoret dari kartu keluarga Kang karena ulahnya sendiri.
"Maafin papa, kak. Papa kelepasan kemarin."
Guanlin mengangguk, tidak apa-apa. Walau Daniel tidak dapat melihat hal tersebut.
ㅡㅡ
thank you sudah bacaaa:)
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Ayah: Days Out ㅡ kang daniel [✅]
Short Story[ Ayah series #2 ] Kang Daniel with his adult children. ©dankewoojin, 2018