Part 2.2 - Throwback

5.2K 176 9
                                        

Hapypy reading ❤️

•••••••••••••••••••••••••

Dentuman musik keras memekakkan telinga menghiasa ruangan VIP pada salah satu klub ternama di sekitar daerah Pennsylvania.

Bram sedang merayakan keberhasilannya berkat penjualan seorang gadis berumur 19 tahun pada pengusaha terkaya di Irak.

Tidak menyesal Bram memungut gadis itu saat berumur 16 tahun, ia benar-benar membawa keberuntungan. Ditambah lagi gadis bernama Marjory ini sangat patuh pada Bram.

Tapi kesenangannya berakhir saat dua orang berpakaian rapi dan bertubuh besar mendorong paksa pintu masuk. Dentuman musik yang indah tadi terhenti dan gadis-gadis yang menghiasi malam Bram, lari ketakutan.

Alpha. Hanya dia pria yang selalu mengusik libur akhir bulan Bram. Pria itu mendekat dengan senyum licik yang tidak pernah meninggalkan wajah keriputnya. Bram melengus malas sambil berpindah dari posisi duduknya saat itu. Dari kursi kebesaran menuju kursi yang biasa dihiasi wanita-wanita sundal untuk memuaskan nafsu birahinya.

Bergeser dan mempersilahkan seorang Alpha untuk duduk di kursi kebesarannya. Tidak seorangpun mampu duduk disana kecuali dia, namun aturannya harus hiatus pada seorang Alpha.

Yah, pria yang dengan segala kekuasaannya mampu menggertak dengan tatapan membunuh.

"Wah, sepertinya hari ini kau untung banyak, yah? Apa gadis blonde itu berhasil diperdaya oleh seorang mafia?" Kicau Alpha memandang Bram dengan santai. Bram hanya diam.

"Berapa gadis itu terjual?" lanjut Alpha.

Dengan berat hati Bram menjawab, "1 juta USD"

Pria yang tengah bersantai ria di kursi kebesarannya sedang tertawa disertai tepukan tangan, bukannya bahagia Bram justru ngeri. Bukan pertanda baik untuk orang seperti dia saat seorang Alpha tertawa.

"Ah rasanya kau belum bayar khas bulanan, ya?" Seperti dugaan Bram. Ada maksud terselubung di balik tawa renyah pria di hadapannya.

Andai saja Bram punya sihir, sudah sejak tadi ia memantrai pria brengsek ini agar tidak bisa bergerah selamanya.

Andaikan ia lebih berkuasa dari Alpha, sudah sejak ia mencincang lalu membakar pria itu hingga menjadi abu.

Andaikan skill nya dapat memperdaya pria bejat di hadapannya ini, sudah sejak lama kepala pria itu terpisah dari badan.

Andaikan! Andaikan!

Bram hanya mampu berandai karena hingga saat ini semua cita-cita tak pernah dia dapatkan. Ia tidak lebih baik dari Alpha hanya saja ia lebih sedikit bermoral. Meski tidak menganut agama, setidaknya Bram takut akan pencipta, entah itu dewi Gaia atau bapak Uranus.

Dengan lunglai ia mengambil tiga koper uang yang sudah dipersiapkan tadi lalu melemparnya ke atas meja berlapis marmer. Sedangkan Alpha hanya tersenyum puas, sembari membuka satu persatu isi koper dan mengeryit.

Jantung Bram mulai berpacu, ia tahu makna keryitan Alpha. Jangan sampai pria itu ingat!

"Rasanya.. kau mulai menua." Tawa pria itu semakin menakutkan.

"Aku tidak bisa memberikannya. Kau sendiri tau alasannya." Jelas Bram. Ia tidak mungkin memberi sesuatu yang diinginkan Alpha saat ini.

"Ah kau ingin bernego rupanya. Baiklah." Alpha menendang tiga koper tersebut dengan satu sunduluan depan kaki, hingga terhambur di lantai. Bram sedikit terperanjat.

"Baiklah, karena ini masih tahun baru. Kuberi keringanan, aku tidak butuh uangmu. Akan lebih berguna bila kau menyumbangkannya untuk amal."

Apa-apaan amal! Bram bukan tipe penjilat yang menutupi kedok melalui sumbangan. Cuih!

"Tapi..."

Sudah kuduga, batinnya.

Bram susah payah menelan ludah menanti kalimat selanjutnya, ia tidak berani menyela.

"Berikan padaku."

"Aku benar-benar tidak bisa. Dia san-" Belum sempat melanjutkan, kini Bram bisa merasakan nyeri di sekitar wajahnya. Sial ia dipukul.

"Bram, Bram. Kau tidak seharusnya begitu. Aku lebih lama bersamamu dibanding sahabatmu itu." Tukas Alpha menggeleng-geleng manja.

"Tidak mungkin Dexter akan membiarkan kita menyentuh gadis itu, terlalu berbahaya. Kau kenal Dexter, dia seperti monster."

"Aku tidak peduli. Bagaimanapun caranya kau harus bawa kepala gadis itu ke hadapanku!" Titah Alpha dengan mantap.

Bram tahu, ia takan bisa melawan titah dari seorang Alpha. Alpha bagai raja bengis yang akan mencabik-cabik budak apabila dianggap tidak berguna. Ia adalah pria yang bejat yang tidak punya nurani dan hanya Bram seonggok manusia yang tahu kelemahan Alpha. Pria penyuruh dan berdarah dingin itu sangat takut terhadap sosok datar seorang Dexter.

Yah Dexter

Pria dengan segala arogansi dan ambisi kuat bisa membuat seorang Alpha menunduk patuh bahkan mencium jari jemari kakinya.

Dexter adalah yang terbaik dari yang terbaik, terhebat dari yang terhebat, tertangguh dari yang tertangguh, dan teragung dari yang teragung.

Siapa yang sanggup menghadapi pria seperti Dexter. Ia seperti air yang tenang namun sangat dalam, sekali terperanjat kau akan tenggelam. Dexter bisa melakukan apa saja, otak jeniusnya adalah hal paling berharga yang dimiliki lelaki itu.

Kemampuan menembak yang sempurna, permainan belati dan pedang yang terkoordinasi, serta permainan ekspresi seorang Dexter selalu mampu melumpuhkan lawan.

Itu sebabnya Alpha memanfaatkan Bram untuk menyiksa sahabatnya sendiri.

"Sudah, sudah. Tidak usah terlalu memikirkan gadis kecilnya sahabatmu. Pikirkan saja Ibumu yang buta itu." Rahangnya mulai mengeras. Ingin rasanya ia meninju pria dihadapannya itu hingga mampus.

Bram bingung untuk memilih antara Ibunya atau adik Dexter, Jennie. Keberadaan Jennie, ia sudah lama tahu. Namun, ia belum memberitahu siapapun soal itu. Termasuk Dexter.

"Kuberi kau waktu hingga akhir bulan ini. Happy new year!" ujar Alpha sebelum benar-benar berlalu meninggalkan Bram dengan pikirannya.

••••••••••••••••••••••••••

Terima kasih ❤️

MAFIA [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang