Part 8.2 - Run

2.2K 89 0
                                    

[Selamat Membaca]

===========


Julian masih mempertahankan wajah tenangnya meski sekarang perasaannya sedang harap-harap cemas pada sosok lain sedang mengintai gadis mungil itu. Netra coklat itu menatap tajam dari balik kacamata hitam yang melindunginya. Pria bersiluet yang memangut-mangut mencari keanehan sekitar, nihilnya keahliannya belum mampu menemukan keanehan dibalik simpang jalan yang sedang berdiri. 

Zelda kini bangkit setelah ice cream kuning yang dijilatinya hingga mengikis itu habis menyisakan stick. Tidak berniat mencari tempat sampah, gadis kecil itu membuang sampah di sembarang tempat dengan lugunya seolah semua sudut temlat dipijaknya adalah tempat sampah berjalan. Melihat tingkah lucu barusan Julian sedikit berdelik dalam hati. 

Pergerakan aneh kini kembali menyita perhatian Julian, pria bersiluet yang berusaha semakin dekat dengan gadis kecil yang tengaj diawasi. Julian tidak sebegitu bodoh untuk tidak dapat membaca pergerakan selanjutnya dari pria berailuet itu. Dilengkapi sapu tangan putih di genggaman tangan kanannya, pria itu berniat membius nona kecil itu. Namun, sisa beberapa langkah lagi untuk mencapai Zelda, sebilah belati pendek 10 inch berhasil menggores jidat kiri pria itu. Akan lebih fatal jika tadinya ia tidak sigap menghindar, mungkin akan memotong setengah hidungnya.

Tidak menunggu lama, sebelum ia benar-benar terlihat oleh pelaku lempar belati, ia segera berlari. Julian sama sekali tidak berniat mengejarnya, cukup menghafal wajah asianya saja itu sudah cukup. 

Kini hasrat membunuh gadia belia itu perlahan menghilang. Ia sama sekali tidak bermaksud, hanya saja gelora hatinya mengatakan belum waktunya. Mungkin ia bisa menunggu hingga gadis itu benar benar pantas untuk dibunuh. Julian akan menunggu.

Membunuh gadis manis kecil bermata hazel, menurutnya sebuah penghinaan.

°°

Seharian ini anak kecil itu benar-benar tidak pulang. Bulan sudah mengucapkan sapa tapi anak itu masih sibuk membaca buku bergambar di pojokan taman. Kursi taman yang dihiasi remang-remang lampu temaram. Julian pun tak berniat mengganggu ketenangan sang gadis kecil. Terlihat begitu damai dan tenang. Manik coklat itu tidak berpaling sedikitpun dari gadis kecil bernama Zelda tersebut. Ia menyadari sesuatu bahwa, ada sebuah skenario panjang yang sedang ia mainkan tanpa tahu perannya. 

Bahkan bintang enggan muncul di depan mata pria itu. Mata nya beralih memperhatikan deretan bintang yang berbaris cukup berjauhan. Mengenang kembali kebahagiaan yang telah ia lalui ditengah kepahitan. Apa dunia ini sangat adil sehingga begitu bangganya menyelipkan kebahagiaan bahkan ditengah kesedihannya? Atau dia yang terlalu naif untuk memepercayai skenario dunia ini?

Disaat ia merasa dunia ini begitu tak adil dengan memberi hal-hal buruk, selalu saja berselang beberapa waktu ada hal baik yang terjadi. Terkadang batin kecil Julian ingin sekali saja membenci dunia yang mengharuskan ia terlahir sebagai seorang buronan sekaligus pembunuh. Tapi, pikiran logisnya justru berterimakasih karena ia terlahir sebagai pembawa kedamaian sekaligus jenius. 

Membunuh adalah kedamaian.

Mati adalah kedamaian.

Julian menentang teori adanya kehidupan lain setelah dunia berakhir. Hanya ada satu kehidupan, baginya. Jika ada kehidupan setelah kehidupan sekarang, lantas mengapa manusia begitu tegas pada epifani dunia ini? Toh di kehidupan berikutnya akan ada lagi, bukan?

Kira-kira itulah yang sedang memilukan hati Julian. Hingga sebuah sentuhan lembut dan kecil menyentuh jemarinya. 

Zelda.

Gadis kecil itu memandangnya dengan sendu. Julian memandanginya datar dari balik kacamata hitamnya.

"Tuan, apa kau juga kesepian?"

MAFIA [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang