Part 13 - Meet Her a Tragedy

2K 60 4
                                    

Hay manteman, sebelumnya aku disini aku disini mau ucapin makasih banyak buat dukungan kalian. Kalian adalah motivasi terbesar aku dlam melanjutkan MAFIA ini. Yang awalnya aku udah kayak pesimis banget, 'harus ya aku lanjutin?' 'bakal ada yg suka nga?', dsb. Tapi kalian selalu dukung aku, nge dm aku di twt perihal MAFIA hehe. Maaf aku gabisa balasin bahkan aku ga buka karena aku terlalu takut buat ngejelasin alasannya.

Ya kalian tau kan, aku bukan anak SMA lagi. Sekarang gabisa seenaknya main main sama waktu karena setiap detiknya menurutku sangat sangat menentukan rasa masa depanku.

Jadi buat kalian yg ingin melanjutkan baca cerita gaje ku ini makasih banyak. 😍

Kalau merasa note singkat ini gapenting, gapapa qoq..

SKIP AJA

Selamat membaca


..

Kesibukan kota Bali sangat padat, memberikan sensasi bosan pada tubuh seorang Jennie. Jika bukan karena kewajibannya sebagai seorang muslimah untuk selalu menjalankan shalat lima waktu, mungkin ia masih tidur nyaman di jam ini. Siang hari memang sangat pas untuk bermalas-malasan, menghabiskan waktu dengan makanan lalu kembali terlelap.

Setelah menyelesaikan wudhu, Jennie meraih mukenah yang terlipat rapi di bagian paling atas lemarinya kemudian menggelar sejadah. Tidak butuh waktu lama memang untuk menjalankan shalat tapi efek yang diberikannya sangat lama.

Mengherankan mengapa selama ini banyak kaum muslimah dan muslimin di luar sana yang bermalas-malasan dalam urusan shalat.

Setelah meyelesaikan shalat, Jennie kembali memakai pakaian khas hari-harinya. Gamis hitam, dan jilbab hitam panjang yang menutupi mata kaki. Tidak lupa cadar. Hatinya lebih tenang mengenakan pakaian hitam, karena pada umumnya warna hitam memanglah universal, juga tidak terlalu mencolok apabila digunakan banyak maupun minim.

Hari ini Atira dan Nita mengajaknya untuk mencicipi salah satu restoran di pojok pantai yang baru-baru ini dibuka. Grand Opening memang selalu menjadi hal terbaik dalam hidupnya. Makanan enak dengan harga murah.

Setelah memastikan kamarnya dalam keadaan aman, Jennie memacu motornya untuk melaju menuju rumah Nita. Ia dan Nita berbeda keyakinan tetapi selalu klop, bahkan Nita-lah yang paling berperan penting dalam perubahan besar seorang Jennie.

Masa lalunya begitu suram untuk diingat, bagaimana ia berulang kali mendapatkan pelecehan. Meskipun pelecehan itu termasuk pelecahan ringan, tapi dampaknya sangat membekas di memori Jennie, trauma yang ia alami benar-benar menyebarluas di pikirannya.

Untuk mengingatnya saja membuat bulu kuduk Jennie merinding, tubuhnya bergetar reflek.
Ia berusaha mengembalikan pikirannya sambil menggeleng-geleng kuat kepalanya. Bola matanya menangkap pergerakan aneh di spion motornya, sebuah kendaraan roda empat terus mengikutinya. Apa hanya perasaannya saja? Jennie menepis pikiran buruk itu, mungkin arah tuju kami memang kebetulan sama. Lagipula banyak mobil dibelakangnya, hanya saja yang satu itu begitu mencolok.

Jennie belok kiri diperempatan, dan mobil itu pun ikut. Kini hanya ada motor scoopy merah dan mobil yang entah mereknya apa, yang melintas dijalan besar itu.

Jennie kini tidak dapat berpikir positif lagi, mobil itu seakan memberi kode bahwa ia sedang mengikutinya. Bahkan saat Jennie memberi ruang untuk melambung tetap saja seperti itu, ketika Jennie melambat mobil itu pun melambat.

Pikirannya kini berkecamuk, sudah 2 tahun ia merasa hidup bebas, apa sekarang ini? Apa orang yang mengikutinya ini adalah orang yang sama dengan penyebab traumanya beberapa tahun lalu? Ia tidak bisa mengatur detak jantungnya yang memburu meminta dibebaskan dari dadanya sekarang ini.

Bersama gerakan tanggas ia melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinnggi, berusaha meninggalkan mobil tersebut.

Dalam hati Jennie banyak membaca ayat-ayat yang sekiranya bisa menyelamatkan hidupnya.Apapun yang terjadi Jennie harus meninggalkan jalan besar. Seperti epifani, sebuah gang sempit didepan sana seolah membuka mulut untuk menolongnya. Bukan hal sulit sebenarnya untuk melawan, karena secara, ia sudah belajar banyak hal di masa kecilnya. Tapi alangkah baiknya jika menghindar saja.
Setelah memasuk gang, sepertinya mobil itu sudah tidak mengikutinya.

Jelas saja karena gang ini hanya bisa dimasuki kendaraan seperti motor ataupun sepeda. Untuk motor saja ini masih sedikit sulit tapi syukurlah.
Untungnya gang ini juga bisa langsung tembuh di lorong rumah Nita.

**

Bram tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya dengan kedua tangan. Matanya kini berair. Sementara Julian masih terlihat datar sambil mencomot buah-buahan.

Seorang bartender menyugukan koktail dengan rasa yang bervarian, Bram mengucapkan terimakasih ditengah tawanya.

Wajahnya memerah karena terlalu banyak terbahak.

“Jadi, kau benar-benar mengikutinya dengan mobilmu? Di jalan sepi? Kau benar-benar sesuatu Julian” Bram kembali terbahak.
Dan Julian masih dengan wajah datar yang seakan tidak peduli.

“Tentu saja dia ketakutan, dasar bodoh. Dia berfikir kau itu akan mencelakainya.” Kini tawa Bram mulai meredam, ia masih tidak habis fikir bagaima sahabatnya yang begitu jenius ini sangat bodoh dalam hal mengungkapkan rasa.

“Biar kuberi saran sebagai sahabatmu, dekati dia secara langsung. Jangan bertindak seperti seorang mafia. Dasar kau,”

“Sudahlah.” Ending scene.
Seraya menarik nafas dalam-dalam, “Jadi, bagaimana caramu menemui dia nantinya?”
“Siapa?” Julian menyeruput jusnya.

Berbeda dengan salera Bram yang lebih kepada koktail, justru Julian membenci meminum hal seperti itu, rasanya tidak cocok dengan gaya hidupnya. Jika ia mabuk misi yang ia jalankan mungkin akan terancam.

“Astaga, tentu saja adikmu!”

“Kucoba besok.” To The Point.

.
Makasih😍

MAFIA [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang