Part 9 - Jennie

2.2K 88 0
                                    

[Selamat Membaca]

==========

Indonesia, Juli 2012

Setahun telah berlalu. Bram masih sibuk dengan wanita-wanita jualannya dan Julian sibuk dengan isi kepalanya.

Setahun ini, ia terus mengawasi Zelda dari kejauhan dengan hati-hati. Jangan sampai Zelda menemukannya seperti saat itu. Ketelitian tingkat dewa ternyata diperlukan untuk anak seukuran Zelda.

Anak itu, entah apa yang ia pikirkan. Entah bagaimana otak kecilnya bekerja sehingga selalu melakukan hal-hal nekat. Ia kabur dari rumah, berjalan sendiri di tengah malam, dan melakukan hal-hal bodoh lainnya. Mau tidak mau Julian harus mengawasi seperti pengasuh. Gadis kecil itu tidak sadar bahwa dunia yang dipijakinya adalah neraka yang sesungguhnya. Beberapa kali Julian memergoki pengintai mengikuti anak itu, mencoba membiusnya, memberi minuman beracun, berusaha menculiknya, bahkan lebih parah ada yang hampir tega menembak kepalanya. Yang tadinya Julian tidak ingin secara terang-terangan menyelematkan Zelda menjadi ia harus turun tangan menembak mati kepala orang itu. Mayatnya ia potong-potong dan dibungkus plastik lalu ia kirim pada bos orang itu.

Bukannya ia ingin melindungi Zelda. Ia hanya tidak ingin orang lain membunuhnya sebelum dia. Karena itu adalah misinya, jika Zelda berakhir di tangan orang lain, maka misi ini dianggap kegagalan pertamanya.

Ia masih bingung pada jalan pikiran Gerald ㅡ ayah anak itu. Ia tahu anaknya diincar tapi ia begitu enteng membebaskan Zelda tanpa perlindungan, bahkan tidak mencarinya kalau ia kabur.

Dan kini dirinya sedang duduk di taman memperhatikan dengan khidmat gadis kecil itu bermain bersama tawa yang tak pernah lepas dari bibir indahnya.

°°

"Mereka harus secepatnya bertemu, ini sudah 2 tahun."

"Aku mengerti. Secepatnya akan kuatur skenario itu."

"Baiklah, kau boleh pergi."

°°

Anak anak itu tertawa bebas, seolah dunia benar-benar indah. Seolah tidak ada masalah yang membebani pikiran mereka. Gadis berkerudung itu juga, ia tertawa dibalik masker hitamnya. Ia menuntun untuk berbaris, lalu dua anak saling memumpu tangan di udara, kemudian barisan perlahan melewati tumpuan tangan kedua anak. Mereke kemudian bernyanyi lagu anak-anak, kereta apiku. Wanita berkerudung tadi berdiri di belakang barisan guna mengawas setiap anak yang bermain. Sementara Zelda, gadis mungil itu ada ditengah-tengah barisan. Meski tinggi badannya jauh dari anak-anak itu, wanita berkerudung tetap berusaha menyetarainya. Mereka semua tertawa tulus, tanpa beban.

Julian tertawa miris dalam hati. Masa kecil memang indah, penuh kebahagiaan dan tawa. Dunia sangat indah saat masih kecil, begitu polos dan bahagia. Orang bilang masa kecil adalah masa emas, para orang tua akan mencintai kalian dengan sangat, orang-orang dewasa akan mengalah, dan ada yang bilang kalian akan di gratiskan saat main wahana.

Namun kata orang, tidak dipungkiri bahwa semua anak mengalami hal baik saat mereka kecil. 2 dari 10 anak, mungkin saja mengalami penderitaan saat kecil, sehingga menyebabkan ㅡbla bla blaㅡ

Rasanya seperti kutukan untuknya. Mengapa ia harus menjadi 2 diantara 10? Padahal 8 bukan angka sedikit, mengapa ia harus? Dunia terasa begitu kejam saat ia kecil. Ia diperbudak Alpha, diberi makanan sisa, orang tuanya dibunuh dengan keji, hingga adiknya dipisahkan darinya. Sungguh bejat perlakuan dunia ini.

Julian menarik nafas dalam untuk menjernihkan kembali perasaannya yang kesal akan perbuatan tuhan. Setidaknya sekarang ia bahagia, meski sebagai buronan dan pembunuh.

Netra coklatnya menyipit ketika ada wanita tua yang mengobrol bersama Zelda. Ia masih mengawas dari jauh, telinganya mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang menjadi pembicaraan keduanya.

"Valiant, tenang saja aku tidak akan kabur. Aku hanya bermain, jangan berlebihan." Rajuk Zelda yang mendapati Valiant tengah mengganggu permainannya.

Wanita paruh baya itu memijit pelipisnya yang tidak pusing, berkali-kalia menarik nafas untuk menutupi kekesalannya. "Nona, harus pulang, Tuan akan benar-benar marah kalau nona tidak ada dirumah lagi."

"Apa peduli Daddy padaku. Aku benci Daddy" Teriak Zelda kesal.

"Tidak boleh begitu Nona Zelda yang cantik. Nona tidak boleh benci sama Daddynya nona. Yah?"

"Tapi Daddy lebih sayang Amara, Valiant."

"Daddy sayang sama Zelda juga."

"Valiant jangan ganggu aku dulu, aku mau main sama bunda Jennie."

Mata Julian membesar kala telinganya menangkap nama Jennie dipercakapan barusan. Mendadak ia rindu akan sosok adik yang selalu bermanja-manja padanya. Seketika menyadari sesuatu ㅡ

Julian bangkit dari duduknya untuk mencari sosok wanita yang tadi bermain bersama sekompok anak tadi.

Diakah Jennienya yang selama ini dicari. Diakah Jennie yang selalu ia rindukan? Diakah? Semoga Tuhan mendengarnya kali ini.

°°

"Atira, pakai kerudungnya yang bener dong. Liat tuh rambut kamu keliatan, lagian udah dibeliin pelapis masih aja ga dipake." Nita menyisir pelan membenahi kerudung sahabatnya itu.

"Panas tau."

"Kalau udah terbiasa tidak akan panas lagi." Atira mengerucutkan bibir menanggapi Nita yang sadari tadi protes mengenai kerudung.

"Kamu enak, tidak pake kerudung kayak aku. Jadi adem-adem." Kali ini Nita menatap sinis pada sahabatnya itu.

"Di agama aku, rambut itu bukan aurat. Rambut adalah mahkota indah. Beda sama agama kamu, bahwa rambut adalah aurat. Ajaran selalu beda-beda Atira."

Ditengah-tengah perdebatan mereka, Jennie tampak memasuki pintu kafe tempat mereka saat ini.

"Ada apa?" Tanyanya setelah berhasil menyamankan duduknya di samping Nita.

"Biasa, Atira mengeluh lagi." Adu Nita.

Atira seketika membulatkan mata, kali ini pasti Jennie akan menghujaninya dengan beribu dakwah. Selalu begitu ketika Atira mengeluh menjadi wanita Islam, dengan senang hati Jennie selalu memceramahinya.

"Astagfirullah Atira, seharusnya kamu bersyukur bisa berhijab. Kita menjadi lebih rapi, rambut tidak terbang-terbang, dan tentu akan lebjh terhindar dari marabahaya."

"Iya iya aku tau. Aku tidak akan mengeluh lagi Jennie ku sayang."

"Dan lagi Atira. Hijab itu wajib dan kala kau mengabaikan kewajibanmu sebagai wanita muslim, sama saja itu menentang penciptamu. Ingat itu Atira."

"Kubilang iya. Aku janji tidak mengeluh, astaga"

Jennie dan Nita saling berpandangan puas lalu tersenyum menyisakan Atira yang sedang cemberut.

°°

Julian memandangi ketiga wanita yang sedang tertawa bahagia dari balik kaca, dengan tatapan rindu. Sendu rasanya merindukan.

=====

[Macacihhh]

MAFIA [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang