Kabut kembali turun.
Pekat, jarak pandang sangat terbatas.
Jalan berliku sepanjang mata memandang.
Masih basah saja jalan itu.Cahaya apa itu? Ohh, hanya lampu jalan.
Kabut menutupi tiang lampu jalanan.
Bahkan pucuk cemara yang berjejer itupun tak luput dari genggamannya.
Aku jadi tak melihatnya, maaf.Hujan masih saja turun, kau tahu?
Kaca mobil hingga jendela kamarku berembun ketika ku menghembuskan nafas.
Aku menuliskan namamu.
Tapi tak lama kemudian hilang.Sepertimu.
Kau yang sering saja menghilang tiba - tiba.
Rasanya ingin kurengkuh.
Tapi apa boleh buat?
Kau sama halnya seperti kabut yang naik turun dan seenaknya masuk ke kamarku.Lantas hujan seakan menghimbau serta mengingatkanku.
Bahwa dirimu sedingin suhu yang dibuatnya.
Dan kehadiranmu indah namun tak terjamah, sama seperti kabut.Lalu di sinilah aku.
Sendirian di ruangan kosong ini.
Menitipkan salam pada tetes hujan yang turun sedari pagi hingga malam.
Berharap angin menghantarkannya padamu.Dan di Kota Hujan ini aku tersadar.
Bahwa rindu telah mengeratkan genggamannya pada hatiku.
Dan hati telah membekukan dirinya untukmu.Di Kota Hujan ini aku mengadu.
Pada pucuk cemara yang menjulang.
Pada kabut yang simpang siur.
Pada hujan yang jatuh secara berulang.Sampaikah salamku dari Kota Hujan padamu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Penikmat Senja
PoesíaSenja Memang Begitu, Ia sangat Hobi mengejek, Ia membuat ku menunggu dan pergi Begitu cepat, Tanpa tau arti penantian.