Siapkan imajinasi kalian untuk membaca
Happy reading, minta dukungan nya ya
.
.
.
."Memang apa yang ayah pikirkan itu benar!? Ayah bahkan jadi orang pertama yang aku benci! Selamanya!"
Plak
Tamparan yang mampu membuat ia terdiam cukup lama, laki-laki itu memegang pipi kanannya itu dengan kesal dan marah yang sudah memuncak. Itu membuatnya sedikit terkejut.
Dia sudah menahan emosinya sedari tadi, ia membenci situasi ini. Dimana dia harus menuruti semua keinginan ayahnya. Dan pada akhirnya ia kembali beradu argumen dengannya. Wajahnya yang tampan itu, memerah menahan marah, kedua tangannya kini hanya bisa dikepal erat.
Matanya tajamnya masih menatap laki laki paruh baya yang kini berdiri tak jauh disampingnya, pria itu mengusap wajah keriputnya dengan gusar untuk sekian kali dan hampir berkali kali. Entah berapa kali ia terus seperti ini.
Suara berat miliknya menggema di dalam pelosok rumahnya yang megah. Ia masih menatap anak semata wayangnya lekat lekat.
"Kamu harusnya bisa menjadi lebih baik. Kamu tidak bisa memahami orang lain, memang anak tau diuntung!"
Sementara anaknya itu. Hanya mengalihkan pandangannya. Kata-kata tadi sukses menohoknya. Ditambah ia belum bisa menerima keadaan. Sulit rasanya untuk mengatakan maaf.
"Siapkan barang barang kamu! Besok kamu pindah sekolah, dan kamu tidak akan tinggal disini lagi sebelum bisa berubah. Tidak akan ada lagi penolakan!"
Juna mendongakkan kepalanya, lalu menatap mata ayahnya dengan pandangan tak sukanya, di wajahnya tersirat penolakan yang amat jelas. Juna masih mematung mendengar keputusannya.
Darma menatap ia sekilas lalu meninggalkan anaknya yang masih terdiam seribu kata. Kini hanya 1 pilihan yang harus ia lakukan. Dengan mau tidak mau. Tapi dengan meninggalkan rumah ini. Ia takut hal yang tak diinginkannya selama ini terjadi begitu saja.
Juna mendengus nafasnya kasar.
"Bajing! Seenaknya lo giniin gue. Gue juga bisa capek kali!" umpat Juna. Tangannya langsung melempar vas kaca didepannya ke sembarang arah hingga hancur berkeping keping, ia duduk di sofa sambil menjerit frustasi. Semua pembantu di rumahnya hanya bisa menonton adegan itu dalam kebisuannya. Satu sisi mereka kasihan dengan remaja itu, walau mereka terlampau sering melihat adegan ini.Namun ini yang paling parah dari hari-hari kemarin.
***
"Lo kenapa sih? Ada aja masalah yang harus banget lo terlibat didalamnya, nggak ada bosen-bosennya lo emang ya," ucap seorang laki-laki dengan mulut penuh terisi remahan biskuit.
Itu Aldi sepupu dari remaja laki-laki yang tengah diusir ayahnya itu. Rumahnya di sebuah pedesaan. Walaupun bermukim di sebuah desa, rumah Aldi bisa dikatakan cukup bagus jauh dari kesan rumah desa pada umumnya.
Kini karena paksaan dari Ayahnya, Juna terpaksa tinggal disana.
"Siapa yang bakal tau kalau masalahnya bakal kayak gini."
Aldi kembali menatapnya dengan bingung. Ia sadar Juna masih sibuk dengan segala pikirannya.
"Lo yakin mau tinggal disini? Apa Lo sanggup nggak bisa sebebas lo di kota? Lo juga nggak akan dikenal disini."
"Gue yakin nggak ada yang bakal kenal gue ini siapa."
Juna mengecek ponselnya. Ia terus memikirkan segala cara agar bisa pergi dari rumah ini. Tatapan dinginnya mengarah pada ponsel yang ia pegang kini. Kepalanya sakit, dan mungkin hatinya pun begitu.
***
Bip..Bip..Bipzz
Ia terbangun dari mimpinya. Lalu terduduk dan mengucek pelan mata tajamnya itu. Mulutnya terbuka lebar untuk menguap, jarinya memijat pelan pelipisnya. Ia merasa ada yang aneh hari ini. Apa yang bisa membuat ia melupakan mimpi buruknya tadi?
Juna menatap betapa sibuknya pagi ini yang langsung dirasakan oleh pekerja kebun teh yang mulai memetik pucuk daun teh. Sembari tertawa dan mengulum senyum pada rekan satu kerjanya. Juna lupa, kalau dia sekarang bukan lagi tinggal di kota metropolitan.
Juna dengan segera bergegas menuju kamar mandi dan juga menyiapkan seragam sekolahnya yang baru. Entah berapa menit waktu yang ia sia siakan sedari tadi hanya untuk melamunkan mimpinya itu.
Juna melangkah turun menuju dapur. Tangga demi tangga ia turuni dengan malas. Baju seragam yang sengaja ia keluarkan, tak menggunakan dasi, dan rambut hitamnya yang masih basah dibiarkan berantakan begitu saja. Pastinya akan ada banyak orang yang mengecapnya sebagai anak berandalan.
Alisnya yang tebal, bibirnya yang tipis dan mata tajamnya itu banyak memberi keuntungan untuknya. Pujian dan perhatian, segalanya. Namun banyak yang tertipu wajahnya, diluar dari tampangnya yang terbilang tampan itu. Dia hanyalah remaja dengan sikap dingin, cuek dan menyeramkan. Ia disegani oleh semua orang karena sifatnya bukan wajahnya. Karena wajah Juna itu terlihat sangat baik dan polos lain dengan perilakunya yang sangat kasar.
Juna memiliki identitas lain yang membuat orang langsung menggeleng kepalanya heran. Ya, dia terkenal sebagai ketua geng motor yang dikenali oleh seluruh kalangan anak muda di kawasannya.
Siapa yang tidak kenal Juna?
Juna juga seorang artis di sosial media yang akhir-akhir ini banyak di tawari untuk mengisi acara di cafe-cafe ibukota. Namun, ayahnya tak pernah senang jika anaknya itu menjadi artis ataupun pembalap motor.
Matanya dengan tak sengaja menangkap secarik kertas yang tertempel di pintu kulkas. Segeranya ia tarik lalu mengamati isinya. Rupanya dari Aldi, tanpa aba-aba ia langsung membuang surat itu asal. Juna rasa surat itu tidak ada pentingnya.
Tanpa lama lagi Juna langsung mengambil sehelai roti di meja makan, lalu mengolesnya dengan selai kacang yang ada.
Digigitnnya roti itu sementara tangan kanannya memegang skateboard hitam miliknya dengan pundak kirinya yang menggendong tas hitam lalu menuju sekolah barunya.
Kita lihat saja. Benarkah keputusan ayahnya dengan menyekolahkan nya disini? Apa nantinya Juna akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik?
Hay😊. Ini cerita pertamaku, aku harap kalian suka prolognya.
Maaf banget kalau masih belum ada greget- gregetnya hehe. Maklumlah masih pemula.
Terimakasih karena sudah sempat baca cerita ini. Lebih-lebih lagi yang ngasih vote dan commentnya.
Walaupun awalnya absurd, tapi semakin ke inti banyak yang aku edit. Semoga kalian suka.
Salam Hangatku
Zivallryi Ndari
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Here
Teen FictionMasalah selalu saja menghampiri Indri. Gadis itu menyembunyikan segala beban dari hadapan publik, ia tersenyum dibalik keterpurukannya, hanya satu orang mengetahui itu. Juna, cowok yang dulunya seorang pribadi yang bijaksana dan selalu di banggakan...