"Nish, lo bisa turunin gue di sini."
Danish belum juga menuruti keinginan Fay.
"Danish, lo bisa turunin gue di sini!" Fay mengulang kalimatnya dengan satu tingkat suara lebih tinggi dari sebelumnya.
"Gue anter sampe rumah, gue udah bilang."
"Nggak perlu repot-repot. Gue masih bisa jalan," Fay membuang pandangan ke sisi jalan. Ia sadar Danish memandanginya lewat kaca sepion.
"Gue bertanggung jawab bawa anak gadis orang sampe malem, jadi perlu gue anter sampe depan rumah."
"Lo bukannya marah sama perkataan gue di kafe?"
"Nggak marah."
"Nggak usah bohong, Nish. Gue tau lo marah gue bahas soal di makam."
Danish masih bersikap tenang seperti tidak terpengaruh dengan Fay yang menaikan nada bicaranya.
"Gue nggak marah. Itu hak lo mau ngomong apa."
"Lo ini sebenernya siapa sih?"
Danish melirik Fay dari sepion. "Maksudnya apa? Gue Danish Mayza, anak Selarsa yang paling tampan," kelakarnya.
"Enggak, enggak! Lo tuh bipolar ya? Lo bisa berubah-ubah segampang itu. Bisa berubah sedingin es dengan tatapan mata kayak psikopat. Terus bisa berubah lagi jadi konyol kayak pelawak gratisan."
Kontan Danish tertawa. Fay mengernyit. Danish semakin membuat Fay bertanya-tanya.
"Kok lo ketawa sih?"
"Lo lucu, Fay."
Fay memutar bola matanya. "Whatever, turunin gue di sini."
"Kenapa sih lo kayak takut banget gue anter sampe rumah?"
Di atas pahanya, Fay mengepalkan tangan kuat-kuat. Meski dalam hati kecilnya Fay merasa ingin diantar sampai rumah, tapi sebagian dirinya yang lain menolak untuk bersama Danish lebih lama. Setengah hatinya menjerit menolak. Fay takut Danish tahu tentang kehidupannya yang sebenarnya. Tentang kenyataan pekerjaan mamanya.
"Siapa bilang takut?"
"Yaudah belok mana nih?"
"Nanti di pertigaan ambil kiri." Fay mengulum habis senyumnya. Dalam hati, Fay berharap mamanya belum pulang dan tidak ada tetangga yang masih berkeliaran, agar tidak perlu ia mendengar komentar pedas para tetangganya yang berlagak macam Tuhan.
"Di sini."
Danish mengurangi kecepatan motornya. "Beneran di sini?"
"Iya, di sini aja, Nish."
"Ah ini bukan rumah lo." Danish berniat menarik lagi gas tangannya sebelum akhirnya Fay neremas kuat pundaknya.
"Plis, di sini aja."
Danish mencuri-curi pandang lewat sepion. Dia lihat bagaimana Fay memasang wajah takut. "Ada apa sih, Fay?"
"Nggak ada apa-apa, Nish." Bibir gadis itu mencoba tersenyum hambar. Danish bisa melihat jelas tatapan kosong Fay.
Merasa Fay tidak nyaman, Danish akhirnya memutuskan untuk memberhentikan motornya di pinggir jalan. Menurunkan Fay di sana, tanpa benar-benar tahu di mana rumah Fay sebenarnya.
Danish mengesah. "Yaudah kalo lo beneran nggak mau gue anter sampe depan rumah. Tapi pastiin untuk selamat sampe rumah. Chat gue begitu lo sampe rumah."
"Gue bukan anak kecil. Santai aja. Sebelum ada lo, gue biasa balik malem sendirian."
"Iya pokoknya chat gue, begitu sampe rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Danish!
Teen FictionTentang ada, tapi tidak dilihat. Tentang bertahan, tapi hancur. Tentang mencoba, tapi gagal. Tentang tertawa, tapi menangis. Tentang bahagia, tapi terluka. Dan manusia adalah kumpulan jiwa egois. Egois untuk tetap ingin terlihat baik-baik saja...