Narda nyaris saja kehilangan jantungnya saat melihat sosok hitam di depan pintu rumah, berdiri menghadapnya. Kondisi rumahnya yang agak remang membuat sosok itu tidak kelihatan jelas.
"Siapa ya?" tanya Narda ragu seraya memegang dadanya untuk memastikan jantungnya masih berada di sana. Ia bahkan ragu kenapa ia harus bertanya pada sosok tidak jelas di depannya.
Sosok itu berjalan dua langkah yang lantas membuat Narda mundur dua langkah. Narda bahkan nyaris saja menendang sosok di depannya sebelum akhirnya cahaya dari dalam rumahnya memperlihatkan siapa yang berdiri diam sedari tadi tanpa suara.
"Danish?!" Narda terkejut.
Laki-laki itu tersenyum nyaris tertawa. Menurunkan tudung sweaternya yang setengah basah. Narda masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Kenapa Danish bisa tiba-tiba ada di rumahnya dengan keadaan pakaian yang setengah basah. Dari mana Danish? Habis apa dia sampai dia basah-basah seperti itu? Banyak pertanyaan yang muncul di kepala Narda, tapi kemudian Danish hanya mendorong bahu Narda sambil berkata, "Cupu banget sih lo. Gitu aja ketakutan," ejek Danish santai melewati tubuh Narda yang membatu beberapa saat di ambang pintu.
Tidak lama, Narda menyusul Danish yang masuk ke dalam rumahnya. Menarik kasar pundak laki-laki itu untuk kembali ia perhatikan mulai ujung rambut hingga ujung kaki. Matanya lantas menyipit. "Lo beneran Danish?"
Danish terkekeh kecil. "Lo masih mikir gue setan?"
"Bukan mikir, tapi lo tuh emang setan! Ke mana aja lo? Semua orang nyariin lo tau nggak!"
Danish mengedikkan bahu.
"Lo ke sini bukan mau maen teka-teki lagi sama gue, kan? Lo mending balik aja daripada gak berguna di—"
"Gue selama ini ngurusin nyokap gue," potong Danish tiba-tiba. Singkat. Tanpa ekspresi apa pun di wajahnya. Narda terdiam. "Nyokap sakit, Da," katanya lemah menatap Narda sekilas karena merasa malu.
Narda menghela napas berat. Ia menyingkirkan tentang apa yang ia tahu perihal Tante Lisa yang sakit, atau juga tentang adiknya, Alis yang tidak pernah Danish ceritakan pada dirinya atau teman-temannya yang lain. "Lo bisa cerita sama gue."
Danish tersenyum kecut. "Gue nggak tau harus dari mana gue cerita. Terlalu banyak yang nggak pernah gue ceritain ke lo atau anak-anak."
"Bagian mana pun yang lo rasa bisa lo bagi, gue bakal dengerin, Nish."
"Nyokap gue kena PTSD, Da. Sejak kecelakaan yang menghilangkan nyawa adik gue, Alis, kondisi kejiwaannya semakin parah." Wajah Danish mengeruh. "Lo juga pasti nggak tau tentang Alis, kan? Dia adik gue. Dia autis. Selama ini dia diasingkan di rumah Om gue di Bandung, tapi karena Om gue harus pindah ke LA, Alis mulai tinggal bareng gue di rumah. Itu juga salah satu alasan kenapa gue jarang terima ajakan kalian main di rumah. Bokap nggak ngasih orang lain liat Alis di rumah. Selama ini identitas Alis disembunyiin demi menjaga nama baik bokap gue. Dia gak mau kolega-kolega besarnya tau kalo dia punya anak autis." Danish mendengus benci. Alisnya saling beradu dan urat-urat di tangannya muncul karena Danish mengepal tangannya begitu kuat.
"Kenapa lo baru cerita sekarang, Nish?"
"Dunia nggak butuh denger cerita sedih, Da. Yang dunia butuh cuma keceriaan. Dengan gue ceritain semua hal ini juga nggak akan ada yang berubah. Alis nggak akan hidup lagi, nyokap gue juga nggak akan sembuh gitu aja. Dan laki-laki sialan itu juga nggak akan membatalkan pernikahannya dengan perempuan jalang yang entah dia kenal dari mana."
Narda terperanjat. Sebelumnya ia tidak menduga kalau Danish sudah tahu tentang Mella yang akan menikah dengan Om Ferdian.
Danish melirik Narda dengan tajam. Kemudian sudut bibir kirinya terangkat. "Kalo yang ini lo tau, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Danish!
Ficção AdolescenteTentang ada, tapi tidak dilihat. Tentang bertahan, tapi hancur. Tentang mencoba, tapi gagal. Tentang tertawa, tapi menangis. Tentang bahagia, tapi terluka. Dan manusia adalah kumpulan jiwa egois. Egois untuk tetap ingin terlihat baik-baik saja...