Danish terbangun dengan keadaan cairan merah di kepalanya yang mulai mengering juga bersamaan dengan matahari yang berusaha meninggalkan tempatnya berdiri. Menyisakan semburat jingga yang mulai menggelap. Sebelumnya, setelah semua keributan yang terjadi, Danish tertidur di pinggir ranjang mamanya.
Kepala Danish terasa berat dan pandangannya sedikit kabur. Detik-detik berikutnya pandangan Danish kembali jelas dan matanya menangkap sosok perempuan yang beberapa jam lalu menghantamnya dengan berbagai benda keras sedang tertidur pulas. Kedua bibir Danish berkedut tidak mampu tersenyum pandangannya lurus kosong. Ada rasa sakit yang bersemanyam di dalam jiwanya. Sakit yang teramat hingga membuat Danish seolah tidak tahu bagaimana cara menggambarkan sakitnya.
Menangis bahkan rasanya tidak lagi mampu Danish lakukan. Kepalanya hanya mampu tertunduk sesaat sebelum Danish berdiri. Menatap kembali mamanya sebentar, mengusap rambut berantakan mamanya dan membungkuk lalu mencium puncak kepala perempuan itu. Danish beranjak pergi dari sana dengan langkah kaki yang berat.
Beberapa pertanyaan perawat yang menjaga mamanya tidak ada yang Danish jawab. Entah karena pertanyaan itu tidak sampai ke telinganya atau dia sendiri yang sengaja menutup telinga. Berpura-pura seolah keadaannya baik-baik saja hanya karena terlalu malas untuk menjawab pertanyaan. Danish benar-benar tidak perduli dengan luka di kepalanya yang tidak seberapa itu. Danish hanya ingin menenangkan diri sesaat. Mencari obat yang mampu menyembuhkan luka jiwanya.
Di saat yang sama, langit seolah memahami perasaan Danish. Malam itu hujan turun dengan sangat lebatnya.
***
"Hp lo nggak akan berubah bentuk kalo diliatin terus."
Fay menoleh enggan ke sisi kirinya di mana Radit datang membawa segelas susu hangat untuknya. Radit tersenyum sekenanya seraya menaruh gelas susu di meja. "Nungguin chat siapa sih?"
"Nggak nungguin chat siapa-siapa," balas Fay tanpa bisa melepaskan pandangan dari benda persegi di tangannya.
"Jadi lo liatin hp aja dari tadi ngapain?"
Beberapa menit cukup hening karena Radit menunggu Fay yang hanya diam menatap ke sembarang. Fay mengembus napas. "Lo pernah nggak ditolong sama seseorang?" tiba-tiba Fay mengajukan pertanyaan.
Dahi Radit berkerut bingung. "Ya pernah. Lu kenapa tiba-tiba nanya begituan?"
"Ditolong yang bener-bener bikin lo merasa sangat tertolong. Kalo pernah, apa yang pengen lo lakuin untuk orang yang nolongin lo itu?"
Radit meletakkan gelas susunya di depan gelas susu milik Fay. Kaki kanannya naik di atas kaki kiri. "Gue bakal balas budi, mungkin dengan cara cara nolong dia juga kalo dia kesusahan. Kalo misal gue ditolongin sama orang yang bikin gue merasa sangat tertolong, mungkin gue akan berusaha mastiin untuk ada di saat susahnya orang itu."
Suara petir menyambar di luaran. Air hujan pun tidak berhenti turun. Langit seperti sedang lupa cara menghentikan hujan yang begitu tumpah ruah. "Udah sejam lebih hujan gak berhenti gini mana deres banget. Kayaknya kita bakal kejebak di sini deh, Fay."
Fay tidak mengindahkan ucapan Radit. Ia hanya tiba-tiba memikirkan jawaban yang Radit katakan barusan. Jawaban yang sama dengan apa yang ada di kepalanya. Sesuai dengan apa yang sebenarnya ada di dalam dadanya. "Gitu ya?" respon Fay singkat. Membuat Radit sedikit kebingungan.
"Gitu ya apa?"
Gadis berkucir satu di depannya diam dan mengangguk-angguk kecil sendiri. Kemudian ia berlari ke kasir mengambil tas dan memasukan ponsel serta mengambil payung hitam di pojok tembok.
"Fay mau ke mana?" Radit cukup cepat menghampiri Fay dan mencegat perempuan itu pergi. "Lo nggak liat itu ujan dan anginnya kenceng banget. Badan lo kurus kecil gitu, ntar terbang kebawa angin gimana! Nanti aja baliknya tunggu agak reda, biar gue anter."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Danish!
Teen FictionTentang ada, tapi tidak dilihat. Tentang bertahan, tapi hancur. Tentang mencoba, tapi gagal. Tentang tertawa, tapi menangis. Tentang bahagia, tapi terluka. Dan manusia adalah kumpulan jiwa egois. Egois untuk tetap ingin terlihat baik-baik saja...