Fay kembali ke rumah dengan perasaan tidak keruan. Isi kepalanya kusut mengalahkan kumpulan benang yang saling menali satu sama lain. Komentar-komentar di instagram yang meski sudah dihapus, perkataan Danish, dan gambaran cacian serta hinaan teman-temannya berputar di kepala. Menghilangkan semangat serta tenaga Fay dengan sempurna. Semuanya terasa berat. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Kenop pintu begerak turun, pintu perlahan terbuka ditemani suara derat yang memberi kesan kayu pada pintu yang sudah tua. Suasana rumahnya gelap. Tidak tahu ada orang atau tidak. Karena semuanya gelap. Fay masuk dan menekan tombol sakelar. Lampu menyala.
"Ini apa, Fay?" tanya Dian begitu Fay masuk rumah seraya memperlihatkan tumpukan surat. Fay malas berpikir itu apa. Ia tetap berjalan menuju kamar.
"Kenapa kamu gak pernah ngasih tau ke Mama surat-surat panggilan ini?"
"Untuk apa?" tanya Fay malas.
"Ya untuk ketemu guru kamu dong, Fay. Untuk bicara dan mencari solusi kalau kamu emang mengalami masalah di sekolah."
"Gak perlu repot-repot. Tanpa Mama ketemu dengan guru di sekolah juga semua hidupku sudah terlalu bermasalah."
"Fay," Dian menahan lengan Fay. "Biar besok Mama temuin guru kamu."
Fay berbalik dan melotot. "Gak usah! Mau ngapain? Mau buat Fay tambah dihina sama temen satu sekolah karna Mama yang kerja di tempat kotor itu?" tukas Fay keras.
Tangan Dian melayang di udara, tapi berhenti di depan wajah Fay. Air matanya mengambang di iris mata. Dadanya memanas seperti isi bara menyala. Emosi memuncak begitu saja ketika mendengar kalimat berulang itu Fay lontarkan di depannya.
"Kamu pikir Mama kerja di tempat kotor itu untuk apa? Untuk foya-foya? Untuk nyenengin diri sendiri? Untuk kamu! Mama rela dianggap jadi wanita hina cuma demi bisa buat kamu jauh lebih baik dari Mama! Mama kerja begini bukan kemauan, Mama. Mama terpaksa. Kamu pikir pekerjaan apa yang bisa didapat dari perempuan yang bahkan sekolah aja gak kelar? Mama tau, Mama miskin. Tapi setidaknya Mama cuma pengen kamu kelar sekolah kalau bisa bahkan sampai perguruan tinggi. Itu semua Mama lakuin untuk ngeliat kamu bisa lebih baik dari orangtuamu ini. Dari orangtua yang kamu anggap hina." Napas Dian satu-satu. Diembus satu dan yang lain saling memburu. Dadanya penuh sesak. Dian mebanting tumpukan kertas ke lantai. Meninggalkan Fay yang bergeming.
Tubuh Fay semakin lemas, sampai berdiri pun ia merasa berat. Badannya bertumpu di kusen pintu dan perlahan merosot ke lantai. Ada petir yang baru saja menyambar dirinya. Menghancurkan kepingan hati yang sudah retak. Dadanya sesak, napasnya satu-satu.
Wajah itu. Wajah penuh lelah dan amarah yang bercampur jadi satu di wajah mamanya menambah kehancuran jiwa Fay. Penyesalan serta emosi yang diperuntukkan dirinya mengumpul. Membumbung seperti awan hitam yang siap menurunkan hujan badai. Hatinya remuk redam.
Fay marah. Marah pada dirinya yang terus melimpahkan amarahnya pada mamanya. Melimpahkan emosinya tentang kehilangan neneknya, hinaan tetangganya, cacian dan semuanya, yang padahal juga diterima oleh mamanya. Fay terisak tanpa suara di depan pintu.
Dan tapi sesakit apa pun Fay, egonya tetap menang. Menahan kalimat maaf terucap dari bibirnya. Seolah kata maaf kini menjadi pintu besi tanpa kunci yang tidak bisa dibuka. Seingin apa pun Fay untuk mengucapkan kata itu, semua selalu gagal bahkan sebelum dicoba. Fay tidak pernah mengutarakan penyesalannya. Tidak pernah menyebutkan kata maaf. Fay terlalu egois untuk berkata maaf. Dan perasaan itu lama-lama membunuhnya perlahan. Lambat, tapi menikam.
***
Suasana kelas sudah mulai ramai mengingat sebentar lagi bel masuk berbunyi. Danish agak sedikit terlambat, tidak seperti biasanya yang selalu datang lebih awal. Setidaknya lebih awal dari Kenzie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Danish!
ספרות נוערTentang ada, tapi tidak dilihat. Tentang bertahan, tapi hancur. Tentang mencoba, tapi gagal. Tentang tertawa, tapi menangis. Tentang bahagia, tapi terluka. Dan manusia adalah kumpulan jiwa egois. Egois untuk tetap ingin terlihat baik-baik saja...