Sudah bermenit-menit lalu Fay tiduran dalam posisi telungkup memandangi boneka kuning dengan wajah yang selalu ceria itu. Sesekali boneka diam itu berhasil menciptakan lengkung di bibir Fay. Bukan karena Fay saat ini sedang belajar tersenyum seperti apa yang Danish bilang.
Fay tersenyum justru karena membayangkan wajah Danish terlihat mirip dengan boneka kuning ini. Wajahnya yang konyol, selalu riang seperti tidak pernah punya masalah. Ya, begitu.
Fay melirik jam dinding hadiah belanja sembako di dinding kamarnya. Malam sudah semakin larut tapi mamanya belum juga pulang. Fay tidak terlalu mengambil pusing, karena ini juga bukan kali pertama bagi perempuan itu. Palingan lagi-lagi Dian harus bekerja sampai pagi, begitu pikir Fay.
Fay membalik posisi tubuhnya dan kini ia memejamkan mata. Berharap sedikit permasalahan sekolah yang baru saja ia hadapi menghilang hanya dengan menutup mata.
Hingga kemudian gawai pribadinya berbunyi meneriakkan panggilan masuk.
Radit.
Nama itu yang muncul pada layar gawainya. Tidak butuh waktu lama, Fay mengangkat panggilan masuknya.
"Iya Dit kenapa?"
"Lo gak apa-apa?"
Fay kontan duduk dengan kening berkerudung. Benaknya heran kenapa Radit tiba-tiba bertanya begitu? Apa mungkin Radit tahu tentang masalahnya di sekolah tadi? Tapi bagaimana mungkin?
"Gak apa-apa maksudnya gimana?" jawab Fay dengan suara tenang.
"Lo gak angkat telfon gue dari sore."
"Ah iya maaf. Gue kan udah bilang lagi kerja kelompok. Gue gak liat-liat hape."
"Lo bohong! Alesan lo gak dateng ke toko karna kerja kelompok itu bohong. Iya, kan?"
Selain kening yang berkerut kini kedua mata Fay juga tidak tahan untuk tidak bereaksi dengan melotot kebingungan.
"Ya-engga lah. Bohong apaan kali." Fay sedikit gelagapan. "Lo ngaco nih, ngantuk ya? Udah malem, tidur gih!"
"Fay, gue tuh kenal lo cukup lama. Lo tuh kalo boong tuh bisa ketauan cuma dari cara bicara bahkan ekspresi wajah."
"Apaan sih Radit, gue gak paham ah. Udah, gue mau tidur."
"Lo ada apa di sekolah?"
"Gak ada apa-apa, Radit. Lo apaan deh?!"
"Lo diskors?"
Fay membisu. Memberi jeda panjang karena rupanya di seberang Radit menunggu jawaban.
"Lo diskors?" ulang Radit di seberang.
"L-lo tau dari mana?" Seketika Fay merasa seperti baru saja menelan bulat-bulat bakso kecil ke tenggorokan. Ya, Radit berhasil membuatnya kehilangan kata.
Gak mungkin Danish yang ngasih tau, kan? Pikir, Fay.
"Tadi ada anak dari sekolah lo belanja di toko. Mereka ngomongin anak cewek yang berantem di sekolah terus diskors. Dan pas mereka mau keluar toko, mereka sempet nyebut Fay. Dan gue langsung mikir itu pasti elo. Karna gak lama lo nelfon bilang ada kerja kelompok. Itu bohong, kan?"
"Kalo lo tau gue bohong, kenapa lo ngasih izin gue untuk gak ke toko?"
"Karna gue tau lo butuh waktu untuk sendiri."
Kali ini Fay tidak lagi menjawab. Ia hanya diam tanpa ekspresi.
"Gue tadinya mau nanyain ini besok aja. Tapi gue tau kalo gue gak nanya sekarang, lo pasti bakal pura-pura tetep ke sekolah dan dateng siang ke toko. Biar gue gak tau soal skorsing lo, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Danish!
Roman pour AdolescentsTentang ada, tapi tidak dilihat. Tentang bertahan, tapi hancur. Tentang mencoba, tapi gagal. Tentang tertawa, tapi menangis. Tentang bahagia, tapi terluka. Dan manusia adalah kumpulan jiwa egois. Egois untuk tetap ingin terlihat baik-baik saja...