Danish memarkirkan motor ke dalam garasi. Berjalan gontai menuju rumahnya. Di depannya, berdiri pintu besar kokoh yang seolah menertawakan hidupnya.
Danish pulang. Tapi Danish tidak merasa pulang. Ia merasa rumah tidak lagi menjadi sebuah tempat untuk pulang. Rasanya terlalu asing.
Setiap kali Danish di luar, Danish selalu ingin segera pulang. Apa lagi kalau melihat tawa hangat seorang keluarga di mana pun ia berada. Entah sedang di jalan, di kedai kopi, di atau pameran pinggir kota. Itu selalu membuat Danish sangat ingin pulang. Bertemu Mamanya menyapa, memeluk, mengganggunya memasak atau membuat adiknya kesal karena buku gambarnya yang sering ia sembunyikan.
Perasaan itu yang selalu Danish harapkan tiap kembali ke rumah. Tapi semua menjadi omong kosong. Semua hanya jadi hayalan. Tiap kembali ke rumah, kenyataan menyambutnya dengan pelukan hambar bahwa rumah bukan lagi tempat yang bisa ia sebut pulang.
Danish mendorong pintu. Pintu terbuka. Danish masuk dan disambut oleh pembantu rumah yang langsung menanyakan Danish sudah makan belum? Lalu Danish ingin dimasakan apa? Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya ingin Danish dengar dari sepasang bibir mamanya, bukan pembantunya.
"Biar Bibi bawain tasnya, Den."
Danish diam saja ketika pembantunya mengambil tas dari bahunya. Ia hanya menatap beberapa saat dan pembantunya langsung paham.
"Nyonya lagi tidur di kamarnya, Den. Hari ini nyonya gak ada buat gaduh, nyonya lebih banyak melamun..." Danish menunggu kabar lebih jelas yang ingin disampaikan oleh pembantunya.
Kedua pembantunya saling menyenggol tangan tidak tahu harus berbicara bagaimana. Danish menatap mereka dan mereka menunduk.
"Hmm, apa gak sebaiknya kita bawa nyonya ke orang yang lebih ahli, Den? Kasian nyonya kalau diurus sama kita-kita yang gak bener-bener paham ini, Den. Apa lagi kalau nyonya ngamuk, atau tiba-tiba nangis, dan yang lebih parah kalau nyonya mencoba untuk—"
"Nanti biar saya pikirin."
Mereka kemudian menunduk jauh lebih dalam. Tidak berani menatap wajah tuannya yang pasti terlihat murung. Danish memberi isyarat untuk menyuruh pembantunya pergi. Sementara ia berjalan menuju kamar mamanya.
Pintu berwarna cokelat mengilap itu menatap Danish hampa. Danish mengulurkan tangan meraih gagang pintu berwarna silver dan membuka pintu kamar. Matanya langsung disambut oleh tubuh mamanya yang berbaring. Danish masuk. Menutup pintu perlahan agar mamanya tidak bangun dan terganggu.
Suara kasur yang melesak mengejutkan Danish. Ia kira mamanya terbangun. Dadanya sempat berdegub cukup hebat. Kemudian dahinya mengerut dalam. Danish mengutuk dirinya karena ketakutan dengan mamanya sendiri.
Dia berjalan menuju kasur. Duduk di lantai menatap dalam wajah lelah mamanya. Danish tersenyum lirih. Perempuan di depannya adalah perempuan yang telah bertarung nyawa untuk melahirkannya, kenapa dia harus takut? Danish tersenyum meyakinkan diri bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan.
Tapi sekelebat bayangan kemarin menghantamnya. Mengantarnya pada kenyataan luka di pelipisnya adalah buah tangan dari perempuan di hadapannya.
Pada akhirnya kamu juga akan menyerah dengan dia.
Reka adegan itu kemudian disusul oleh kalimat papanya. Membuat tenggorokannya tercekat. Napas Danish sedikit memberat. Dia menggeleng memejamkan mata.
"Danish?" namanya dipanggil.
Danish membuka mata dan melihat mamanya menatap. Danish bergerak mundur cepat. Napasnya memburu ketakutan. Tapi hatinya marah. Kenapa ia takut? Itu adalah mamanya, Danish tidak perlu takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Danish!
Teen FictionTentang ada, tapi tidak dilihat. Tentang bertahan, tapi hancur. Tentang mencoba, tapi gagal. Tentang tertawa, tapi menangis. Tentang bahagia, tapi terluka. Dan manusia adalah kumpulan jiwa egois. Egois untuk tetap ingin terlihat baik-baik saja...