"Gue anter lo balik ya?"
"Gak usah. Gue bisa sendiri," jawab Fay merapikan mangkok dan handuk basah yang ia pakai untuk mengompres luka lebam Danish.
"Kenapa sih lo gak pernah pengen dianter?"
"Ya gak apa-apa. Gak pengen aja. Gue gak biasa naik motor gede lo, duduknya agak nungging. Pegel."
Danish tertawa geli. "Yaudah gue ikut lo naik angkutan umum dev. Asal gue anterin lo balik. Gue mau mastiin lo aman sampe rumah."
"Ah lebay. Udah gak usah," jawab Fay sambil berlalu ke dalam toko.
"Ya, Fay, ya?" teriak Danish dari luar. Danish menyunggingkan senyum kecil.
"Gak usah!" teriak Fay lagi dari dalam toko.
Danish tidak perduli. Tidak menerima penolakan kemudian berpura-pura tidak mendengar Fay melarang, Danish malah berteriak girang seolah baru saja mendapat persetujuan. "Yeay, makasih, Fay. Gue bakal anterin lo balik."
"Gue rasa lo perlu ke THT deh, Nish," ucap Fay acuh begitu Danish terus mengikutinya seolah semua larangannya tidak masuk ke dalam telinga. Matanya melirik ke kiri menunggu metromini tujuan.
Danish tersenyum bahagia, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru, sambil melipat tangan di depan dada. "Bodo amat. Pokoknya gue mau nganterin lo balik."
Fay memutarkan bola mata. Saat metromini datang, Fay naik ke dalam diikuti Danish di belakangnya. Melihat itu, Fay hanya bisa menghela napas. Fay memilih bangku ke tiga dekat jendela dan duduk di sana. Danish di sebelahnya.
"Kerjaan hari ini cape banget ya? Lesu begitu muka lo kayak tanaman kurang air."
Fay mengedikan bahu. "Entah lah. Gue nggak bisa bedain, cape karna kerja atau cape karna hidup."
"Emang hidup lo kenapa?"
Fay menyandarkan kepala di kaca jendela. Matanya menatap kosong kendaraan lalu-lalang berlawanan dengan metromini mereka. Sesekali ia menatap lampu jalanan yang menjadi satu-satunya penerang. Malam hari ini gelap tanpa bintang.
"Gue kemaren ribut sama nyokap."
Danish terdiam. Ia jadi ingat kejadian tadi siang dari mamanya Fay. Sepertinya Danish tidak perlu menceritakan pertemuannya dengan mama Fay. Danish menunggu cerita Fay.
"Ya, walaupun emang kita kerjaannya cuma berantem. Tapi kemaren jadi pertengkaran kita yang bikin gue kepikiran sampe sekarang. Gue ngerasa bersalah banget sama Mama."
"Hmmm." Danish hanya bergumam. Ia memberikan seluruh waktu untuk Fay yang berbicara. Membiarkan Fay melepaskan ikatan sesak di dadanya dengan berbagi. Sedangkan ia memposisikan diri untuk mendengar semua keluhan Fay. Mengesampingkan dirinya yang diam-diam juga ingin bercerita.
"Gue ngerasa udah keterlaluan gitu sama dia." Fay terdiam beberapa saat. Tarikan napasnya menjadi berat. Ia tersenyum gamang. "Gue sebenernya nggak benci sama mama. Tapi tiap kali ada dia, tiap kali kita tatap muka, bahkan tiap kalu gue pulang, gue selalu aja marah-marah. Yang ada di kepala gue cuma emosi-emosi tentang dia yang gak pernah ada buat gue. Bahkan di hari mbah gue meninggal. Gue marah banget..." Fay kembali terdiam. "Gue menyalahkan semua permasalahan hidup gue itu karna dia."
Saat memendarkan pandangan, matanya menangkap awan gelap menyingkir sedikit dari tempatnya. Memberi celah cahaya bulan untuk menyembul dari persembunyian. Fay tertunduk sedih. Bahkan malam gelap pun kini lebih terang daripada kehidupannya.
"Gue kadang pengen nyapa dia. Pengen lemah lembut sama dia. Pengen bisa peluk dia dan ngadu masalah gue ke dia kayak anak-anak pada umumnya. Gue sebenernya bisa. Tapi gue gak terbiasa. Permasalahan gue gak kayak anak-anak pada umumnya. Yang cuma berantem gara-gara asik main hp, pulang telat, atau gak naro handuk pada tempatnya. Kita berdua terlalu rumit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Danish!
Teen FictionTentang ada, tapi tidak dilihat. Tentang bertahan, tapi hancur. Tentang mencoba, tapi gagal. Tentang tertawa, tapi menangis. Tentang bahagia, tapi terluka. Dan manusia adalah kumpulan jiwa egois. Egois untuk tetap ingin terlihat baik-baik saja...