22. Melihat

1.8K 216 32
                                    

Fay berjalan memasuki pelataran sekolah. Setelah panggilan orangtua yang dipenuhi oleh Dian, mamanya. Fay sudah bisa kembali ke sekolah. Fay juga sudah mengabarkan Radit tidak bisa lagi datang ke toko pagi hari karena ia sudah mulai sekolah lagi hari ini. Suasana sekolah masih sama. Ramai dan ceria.

Saat berjalan di lorong menuju kelas, beberapa siswa menatap Fay. Seolah tidak percaya bahwa anak itu masih bisa masuk sekolah setelah kejadian kemarin. Mereka menguliti Fay dengan tatapan aneh. Fay mencoba mengabaikan seperti yang sudah-sudah.

Di depan mading anak-anak ramai berkumpul. Dan saat Fay berjalan melewati, semua menatap Fay. Tatapan jijik bahkan sampai ada salah seorang yang meludah ke tanah.

"Gue kira udah asik sama cowok di luar daripada ke sekolah."

Fay mendelik. Menatap satu-satu mereka yang berbicara dengan aneh. Kemudian disusul seruan-seruan lain yang mengejek.

"Mainnya sama anak kuliah biar bayarannya mahal ya?"

"Kayaknya bukan sama anak kampus doang. Sama siapa aja dia mah."

Fay kemudian menerobos kerumunan depan mading sampai dirinya berdiri tepat di muka mading. Fay melihat beberapa fotonya menempel di sana. Ada foto Radit mengusap kepalanya di kafe. Foto lainnya ada Fay dan Beni yang tengah makan berdua di pinggir jalan pada malam hari. Dan terakhir ada beberapa fotonya bersama Danish yang wajahnya tidak begitu terlihat saat memeluk Fay.

Dada Fay bergemuruh. Tangannya mencopot kasar seluruh foto yang ada di mading. Diremas dan di buang ke lantai. Napasnya memburu. Fay memutar melihat kerumunan yang bertambah jijik melihatnya.

"Murahan banget!" seru salah seorang siswi berambut bob.

"Selama dihukum, ternyata dia malah asik sama cowok."

"Jadi bener ya dia itu sama kayak mamanya yang jadi pelacur?"

"BERISIK! Kalian tau apa sama hidup gue, ha?" Fay menjerit. Tapi semua tidak perduli. Mereka tetap menganggap Fay pantas untuk dihina.

"Nggak usah sok suci!"

"Tau. Nggak punya malu lo. Masih anak SMA tapi udah begitu."

Bisikan-bisikan itu kini berubah makian keras. Menjadi seruan yang semakin menghakimi. Fay berlari menuju kelas. Sepanjang langkah kakinya yang cepat orang-orang tidak berhenti menghina.

"Perempuan kotor."

Mata Fay memanas. Ia ingin menangis tapi tidak bisa. Air mata bahkan takut untuk turun. Tidak akan ada yang perduli dengan tangisannya. Semua orang akan tetap berpikir buruk tentangnya. Fay berlari sampai kelas. Begitu sampai di depan pintu kelas, Andini yang paling pertama menyapanya. Tersenyum sarkas.

Tangannya terlipat di depan dada. "Halo, Fay. Masih berani sekolah juga rupanya?"

Fay menerobos tubuh Andini dan segera masuk ke kelas. Duduk di kursinya dan berpura-pura tidak melihat anak-anak kelas yang menatapnya intens. Pelajaran pertama dimulai. Dunia dalam kelasnya untuk beberapa saat teralih ke pelajaran. Fay bisa bernapas sedikit untuk tidak mendengar hinaan teman-temannya.

"Jadi siapa yang bisa mengerjakan hasil perhitungan di depan?" Pak Burhan mengetuk papan tulis bertuliskan soal-soal matematika.

Andini angkat tangan.

"Iya, Andini. Kamu mau ngerjain ke depan?"

"Bukan, Pak. Barangkali Fay bisa. Dia kan suka main sama laki-laki biar dapat bayaran kayak Mamanya. Jadi perhitungan gitu pasti dia bisa," ejek Andini disusul gelak tawa sekelas. Bibirnya menyungging senyum sinis.

Hi, Danish! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang