"Eh minggir, ada cewek kotor mau lewat!"
Fay berlalu begitu saja seolah barusan kedua telinganya tidak mendengar apa-apa. Merasa diabaikan Andini akhirnya mencegat jalan Fay. Perempuan itu berdiri dengan tangan terlipat. "Udah bisa belagu sekarang ya?"
"Minggir!" tegas Fay. Suaranya dingin tak perduli.
Andini berdecak tidak terima. "Mentang-mentang udah mulai nggak ada yang bully, sekarang merasa hebat?"
Fay melirik tajam ke arah tepat di bola mata Andini. Tatapan dingin yang menghunus pusat jantung. Menghentikan titik kehidupan Andini dalam beberapa detik hanya dengan tatapan.
"Terserah lo mau ngomong apa. Gue lagi males debat," ucap Fay kemudian menabrak bahu Andini hingga perempuan itu sedikit terhuyung. Andini terkejut sampai matanya membelalak tak percaya. Mulanya ia ingin kembali menahan Fay, tapi Fay sudah tidak di sana.
Fay duduk termenung di bawah pohon mangga samping kantin sekolah. Tangannya menimang-nimang gantungan roket pemberian Danish. Isi kepalanya sedang memutar kaleidoskop kisah gantungan roket ini. Ujung bibirnya sedikit terangkat mengingat bagaimana Danish bersusah payah terus berusaha membuatnya tersenyum. Fay menarik napas. Ingatannya makin jelas tiap kali Fay berusaha melupakan.
Tidak bisa dipungkiri Fay rindu Danish. Fay rindu bagaimana tingkah konyol Danish selalu membuatnya menahan tawa. Fay tidak ingin membuat Danish puas karena tingkahnya sebenarnya kadang menghibur. Fay mengembus napas.
"Gue jahat ya? Dulu waktu gue ada masalah, lo selalu ada. Tapi giliran lo yang ada masalah, gue tau pu enggak."
"Kalau lo berpikir diri lo jahat. Lalu gue dan yang lain apa?" sahut suara dari arah kanannya secara tiba-tiba.
Fay terperanjat bangun dan mendapati Narda di sana. Buru-buru Fay memasukan gantungan itu ke saku.
"Ada apa?"
Tidak menjawab, Narda justru duduk di sampingnya. Tanpa menatap ke arahnya, Narda tersenyum pahit. "Kalau lo berpikir diri lo jahat. Lalu gue apa?" Narda mengulang.
Fay terdiam.
"Gue nggak tau Danish di mana," ucap Narda tanpa diberi pertanyaan. "Gue udah berkali-kali ke rumahnya tapi nggak pernah ada yang nyaut. Sialan emang tuh anak."
Fay masih terdiam. Dia jadi teringat malam di mana ia ke rumah Danish dan tidak mendapatkan apa pun.
"Maaf kalo gue dan yang lain sempet nggak suka sama lo," ucap Narda kini sedikit menggeser tubuhnya agar dapat berhadapan dengan Fay.
"Gue udah biasa dibenci orang."
"Gue nggak benci. Gue cuma nggak suka karna gue kira lo yang bikin Danish berubah. Tapi ternyata dia berubah karna hal lain."
Fay tersenyum pahit. "Dia deketin gue karna kasian. Dia cuma nolongin gue biar gue nggak makin terlihat menyedihkan."
"Dia nolong lo karna dia tau gimana rasanya sakit dan nggak ada yang nolong." Tiba-tiba saja nada bicara Narda terdengar berat. Tatapan matanya kini mengarah ke sembarang. "Lo beruntung Fay. Setidaknya di saat lo sulit, Danish ada di sana untuk mengulurkan tangan. Sementara Danish? Nggak ada satu pun yang mengulurkan tangan ke dia. Bahkan gue sahabatnya terlalu egois untuk tau kalo selama ini dia butuh pertolongan."
Fay menggeleng. Dia mulai tidak paham duduk permasalahan apa yang sedang Narda bicarakan. "Sebenernya Danish itu kenapa sih? Dia tiba-tiba aja juga berubah ke gue. Dia bahkan bilang gue sama dia sama-sama ancur. Maksudnya apa? Jujur selama ini gue bener-bener buta dengan apa yang terjadi sama Danish dan kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Danish!
Teen FictionTentang ada, tapi tidak dilihat. Tentang bertahan, tapi hancur. Tentang mencoba, tapi gagal. Tentang tertawa, tapi menangis. Tentang bahagia, tapi terluka. Dan manusia adalah kumpulan jiwa egois. Egois untuk tetap ingin terlihat baik-baik saja...