Beruntung atau Buntung? Tapi lebih baik dicintai dari pada mencintai. Dicintai kita lebih leluasa karena kita tinggal menerima sedangkan mencintai bisa jadi ditolak karena bertepuk sebelah tangan. Yach, walaupun yang mencintai itu Brondong. Mungkin harus disyukuri.
(Kru Jomblo)
----
Setelah pertemuan tidak sengaja di Hypermart dengan Rizal kemarin, aku jadi memikirkan cowok brondong yang menurutku cukup mapan itu. Kalau diklasifikasi, Rizal masuk dalam sosok calon suami ideal tapi sesempurna seseorang pasti ada kekurangannya. Dan kekurangan Rizal adalah umur, ya Umur yang kurang. Bukankah aku sudah menyebutnya brondong? Jadi jelas usianya di bawahku. Dia baru dua puluh tiga, bayangkan selisih umur kita adalah empat tahun. Tidak, aku tidak sedespresi itu memilih Rizal sebagai kandidat calon suami untuk dikenalkan kepada nenek Ina.
Aku menaruh tas kerjaku ke dalam lemari, lalu aku mendudukkan diriku di sofa yang ada di kamar. Sungguh, kalau boleh jujur aku sedikit tertarik dengan brondong itu tapi banyak pertimbangan yang aku pikirkan lebih dalam lagi. Aku menghela napas lalu berjalan menuju kamar mandi, aku perlu mencuci tubuhku supaya segar dan tak berpikir macam-macam.
Setelah merasa tubuhku segar aku berjalan menuju ke dapur, aku membuka lemari es lalu mengambil sebotol jus jambu biji merah yang sudah aku simpan tadi pagi. Aku mengambil gelas lalu menunganya, mengambil duduk dan menyesap sedikit demi sedikit.
"Kemarin Rizal bilang akan sering bertemu? Bagaimana bisa?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku dan Rizal memiliki domisili yang berbeda. Kawasan kita bertolak belakang, anggap saja kampus Rizal ada di ujung Utara sedangkan kantor tempatku bekerja berada di ujung selatan jadi kemungkinan untuk bertemu sering itu sangat langka, kecuali di antara kita ada yang pindah domisili atau sering kelayapan tidak jelas.
"Apa sebenarnya rencana konyol bocah itu?"
Aku menghela napas lalu meneguk habis jus yang ada di gelas, lalu aku menyimpan kembali botol jus ke dalam lemari es. Mungkin membaca akan membuat pikiranku sedikit teralihkan dari bocah gak jelas itu.
Aku berjalan menuju perpustakaan lalu mengambil salah satu buku tebal, setelahnya aku berjalan menuju ke arah ruang tengah. Aku diam sejenak kala mataku menatap ke luar dan aku bisa melihat suasana senja dengan alam terlihat jingga karena sang mega, kembali kumenghela napas. Ternyata perjalanan hidup tetap seperti ini, tidak ada rutinitas yang berubah dalam hidupku.
Aku adalah seorang Khansa Adelia, perempuan cantik, anggun dan perfect. Hidup berkecukupan, berpenghasilan tetap dan memiliki karier cemerlang. Memiliki keluarga yang care kepadaku dan memiliki sahabat yang sangat baik. Lalu, apa lagi yang belum aku miliki dalam genggaman? Mengapa aku merasa sudut hatiku masih terasa hampa?
Apakah sosok suami itu sangat penting dalam perjalanan hidup ini? Bukankah kehadirannya hanya sebatas agar tidak terputus garis keturunan. Lihatlah, aku bisa melakukan semuanya sendiri meski kuakui untuk keturunan aku membutuhkan seorang lelaki.
Ah, hari ini kenapa aku sangat melow begini. Ini bukan karakter seorang Khansa Adelia.
---
Aku keluar dari rumah dengan tergesa-gesa, sungguh hari ini sangat mengesalkan. Bagaimana bisa aku terlambat bangun hanya karena memikirkan tentang bocah kecil itu semalam. Sungguh bukan Khansa sekali.
Aku melirik ke arah jam tangan Guess yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Aku memang memiliki kebiasaan yang sedikit unik, suka memakai jam tangan di pergelangan tangan kanan. Sebenarnya beberapa temanku melarang karena menurut mereka orang yang mengenakan jam di pergelangan tangan kanan memiliki sifat angkuh dan sombong. Dan menurut seorang Khansa Adelia semua itu hanyalah mitos, karena Khansa adalah perempuan berpikir logis. Bukan begitu?
Aku segera masuk ke dalam mobil, tidak lupa mengunci gerbang rumah. Kalaupun ada satpam di komplek perumahan ini tetapi tetap saja kita harus berjaga dengan keselamatan harta benda kita.
Perjalanan menuju kantor teras begitu lama, seolah waktu berputar begitu lamban. Kendaraan yang padat merayap membuatku beberapa kali mengumpat. Sungguh tak ada niat hati mengumpat hanya saja rasa kesal tak bisa aku sembunyikan.
Perjalanan ke kantor yang biasanya memakan waktu sepuluh menit harus ku tempuh selama lima belas menit lebih, sungguh rekor. Aku segera membawa blazer dan mengeluarkan tanda pengenal sebelum masuk ke dalam. Aku bisa bernapas lega saat aku menoleh ke jam yang ada di dekat pintu masuk. Syukurlah, lima menit lagi.
Aku melakukan absen dengan finger print lalu berjalan masuk ke dalam ruangan. Aku tampak bingung kala ruangan tampak sepi.
"Yang lain ke mana?" tanyaku kepada seorang OB yang mengantar teh ke mejaku.
"Sebagian besar keluar Mbak, katanya tugas lapangan." Aku mengangguk lalu menyalakan laptop yang ada di depan meja. Aku melirik sebuah proposal yang ada di sampingnya. Saat aku membaca title-nya aku hanya bisa menghela napas. Ah, selamat datang dunia sibuk.
---
Aku keluar toilet dengan langkah tergesa, hari sudah malam dan aku masih berkeliaran di kantor. Harusnya di jam ini aku sudah bertemu dengan bantal dan teman-temannya.
Aku berjalan ke lobby, aku sengaja meninggalkan mobil di kantor dan pulang dengan Grap karena aku terlalu lelah untuk menjalankan mobilku. Kepalaku pusing memikirkan ucapan Hana, bagaimana bisa jomblo satu itu mengatakan bahwa aku beruntung disukai oleh brondong aka Rizal. Alasan yang menurutku tak logis sama sekali, dia memberi alasan bahwa dicintai itu lebih mudah dari pada mencintai. Mencintai itu banyak risiko, katanya.
Dengan segala rentetan kalimat itu membuatku semakin terombang-ambing di antara dua keputusan. Haruskah aku menyerah dan membiarkan masa depanku bersama Rizal? Tapi, kalau boleh jujur ada sedikit keraguan di sudut hatiku.
Tidak, aku tidak boleh gegabah. Aku harus mencari cara lain. Mungkin Rizal bisa menjadi planning kedua jika memang diperlukan. Tapi, tidak. Ini sungguh tidak adil untuk Rizal. Tidak, mau bagaimana aku sudah menganggap Rizal sebagai adikku. Tidak, aku tak boleh menjadikan Rizal korban dalam drama kehidupan ini.
Ya, aku akan mencari cara lain dan mengabaikan perihal Rizal. Bocah itu terlalu baik untuk aku korbankan. Aku harus menghadapi semua dengan cara yang benar. Aku adalah Khansa Adelia, si sosok anggun dan berkarisma. Tidak ada sikap pengecut menjadikan orang lain sebagai tumbal.
Aku berjalan dengan cepat, tak lama aku langsung berhenti dan membalikkan tubuh. Aku melotot dengan apa yang baru saja aku lihat.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyaku dengan nada yang cukup tinggi.
"Mbak Khansa," panggil Kania dengan nada terkejut juga.
"Bukankah aku sudah bilang kalau kita akan sering bertemu, Mbak Khansa?" Aku menatap horor ke arah Rizal yang saat ini tersenyum penuh kemenangan.
Tidak, ini mimpi buruk. Ini tidak boleh terjadi, bagaimana kalau aku khilaf menyeret bocah ini ke hadapan Nenek Ina?
---
Komentar please,
Kediri, 9 Agustus 2018

KAMU SEDANG MEMBACA
Menenun Asa (Terbit)
SpiritualSilakan baca dan komentar selagi masih Going on, sebab saya tidak janji akan tetap memajang cerita ini di sini.... Hehehe.... ---- Khansa Adelia, dia adalah seorang wanita karir yang bisa dibilang sukses dan berjaya. Dia memiliki segalanya tetapi me...