9. Kekacauan Nurani

2.4K 176 14
                                    

Mencoba percaya tapi aku tidak bisa. Bukankah manusia itu menakutkan? Dia bisa saja menikam manusia lainnya kala terpojokkan. (Khansa Adelia)

---

Aku merapikan meja kerjaku, waktu pulang kantor akan tiba beberapa menit lagi dan hari ini adalah hari ke-empat aku pulang selalu tepat waktu. Sungguh, aku tidak percaya dengan semua ini bagaimana bisa aku melakukan hal-hal yang diinginkan sopir Online itu, seperti bukan Khansa saja.

"Mbak Khansa ada Pak Gabriel di depan." Aku menoleh ke arah Lestari.

"Terus kenapa?" tanyaku masih asik dengan pekerjaanku, merapikan meja.

"Dia menunggu Mbak Khansa." Aku mengangguk lalu mengambil tas.

"Terima kasih." Aku mengatakan itu sambil lalu.

Ada yang aneh di sini, untuk apa pengacara kurang kerja itu mencari ku? Kalau tidak salah aku tidak memiliki keterikatan apapun dengan lelaki itu bahkan aku tak ada sedikitpun pemikiran untuk bertemu dengannya secara pribadi semacam ini.

"Mau pulang Mbak?" Aku melihat Rora yang sudah ada di depanku, aku tidak tahu dari mana asalnya tadi yang jelas saat ini dia sedang memandangku.

"Iya, ada kumpul keluarga." Aku mengatakan dengan jujur.

"Wah, udah masa tenggang aja." Aku mengangguk setuju dengan ucapan itu. Bagaimana tidak? Waktu satu bulan berjalan dengan begitu cepatnya, hingga cepat menyapa saja.

"Eh Mbak anak magang di lantai dua itu lumayan juga loh." Aku tak bisa mencerna ucapan itu, apa coba maksudnya?

"Maksudnya Mbak, bisa digandeng jadi pasangan. Secara fisik gak malu-maluin kok. Ganteng."

"Di usiaku ini tidak ingin main-main."

"Kalau gak mau main-main ya diseriusin dong Mbak." Aku mengangguk-angguk.

"Kalau aku seriusin Fahmi gimana?" tanyanya dengan iseng dengan menaik turunkan alisku dan tak lupa senyum menyeringai khas seorang Khansa.

"Jangan main-main," kata Rora tidak terima. Membuatku tertawa bahagia, aku tahu bahwa Rora sudah cinta mati sama Fahmi.

"Mbak jangan nakutin kenapa."

"Aku tidak menakuti kamu, hanya bertanya saja. Sudahlah aku duluan, bye!" Aku melangkah menuju pintu darurat. Kalian pasti bingung denganku, ada lift malah memilih tangga.

Aku memiliki kebiasaan, saat pulang tepat waktu lift cenderung berdesakan karena karyawan banyak yang pulang di waktu yang sama. Jadi aku memiliki turun satu lantai baru nanti menggunakan lift khusus tamu. Karena menurut lantai empat aku adalah seorang tamu.

Sesuai dugaan, aku bisa lancar hingga lobi. Ah, hari ini akan menjadi hari yang panjang untuk diriku. Ingin rasanya aku berdiam diri di rumah untuk menenangkan segala pikiran dan kekalutan pekerjaan tapi tidak bisa.

Aku menghela napas lalu menuju ke arah resepsionis, aku mengetuk meja dengan kukuku lalu memberi kode ke arah Sarita tentang keberadaan Gabriel.

Aku mengikuti telunjuk Sarita yang menuju arah di belakangku, aku mengangguk sambil menggerakkan bibirku mengatakan terima kasih tanpa suara. Aku berbalik dan berjalan dengan santai ke arah Gabriel yang sudah berdiri menatapku. Ada apa dengan lelaki itu?

"Ada perlu apa?" tanyaku saat sudah cukup dekat.

"Oh, selalu to the points. This is one reason I like you." Apa pengacara kondang ini sedang mabuk? Sungguh sesuatu yang sangat tak layak untuk kubahasa sama sekali.

"Saya tidak punya banyak waktu." Aku melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Aku masih menunggu alasan yang dimiliki lelaki tampan di depanku.

Menenun Asa (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang