4

1.6K 203 2
                                    

Sepulang dari mall, Sakura membawa pulang Sasuke ke apartemennya. Bisa dibilang, apartemen Sakura cukup mewah. Karena apartemen ini adalah pemberian dari Hiruzen atas kerja keras Sakura selama ini.

"Ini apartemenku. Mulai sekarang, kau tinggal di sini bersamaku," jelas Sakura.

"Tinggal bersamamu?" Sasuke menatap Sakura bingung. "Berdua?"

"Iya, karena kau sudah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali aku," jawab Sakura dengan muka sebiasa mungkin.

"Oh."

Kemudian Sasuke berjalan mengelilingi apartemen Sakura. Selama berkeliling, Sasuke dibingungkan oleh banyak benda yang cukup asing baginya.

"Hei, benda ini apa namanya?" tanya Sasuke pada Sakura.

"Namaku Sakura, bukan hei." Sakura mengerucutkan bibirnya kesal. "Itu namanya kulkas atau lemari pendingin. Kau bisa menyimpan makanan atau minuman di sana agar tetap awet."

Sasuke mengangguk paham, kemudian ia membuka kulkas itu dan meraih sebuah benda bulat berwarna merah.

Karena rasa ingin tahu yang tinggi, Sasuke memakan benda bulat itu dengan lahap.

"Eh? Kau suka tomat, Sasuke?" tanya Sakura yang kebetulan melihat Sasuke memakan tomat itu.

Sasuke mengangguk dengan semangat. "Lumayan."

"Kalau kau suka, besok aku akan membeli banyak tomat untukmu."

Sasuke tidak mendengar ucapan Sakura lagi, kini ia lebih sibuk memakan tomatnya.

Sakura terkekeh melihat tingkah polos Sasuke. Karena sudah malam, Sakura memutuskan untuk membuat makan malam yang sebenarnya jarang ia lakukan.

Makan malam kali ini Sakura memasak nasi goreng. Berhubung Sakura tahu kalau Sasuke menyukai tomat, ia pun menambahkan ekstra tomat di atasnya.

Benar saja, di saat Sasuke menyantap nasi goreng buatan Sakura, pria itu menghabiskannya dalam sekejap. Sakura pun takjub dibuatnya.

"Kau benar-benar kelaparan, ya?" Sakura terkekeh geli.

Sasuke hanya mengangguk dalam diam. Matanya mulai berair dan memerah, tanda bahwa pria itu mulai mengantuk.

"Kau mengantuk, ayo tidur."

Sakura menghampiri Sasuke, lalu membantu pria itu berjalan menuju kasurnya.

Ya, Sakura memutuskan untuk membiarkan Sasuke tidur di kasurnya. Sedangkan dirinya akan tidur di sofa.

Setelah Sasuke tertidur, tiba-tiba saja ponselnya berdering tanda ada seseorang yang menghubunginya.

"Halo?"

"Kau di mana, Sayang?"

"Apartemen, ada apa?"

"Boleh aku ke sana?"

Mata Sakura membelalak, ia pun menatap Sasuke yang tengah tertidur pulas di kasurnya. "Eh, jangan!"

"Lho, kenapa?"

"B-biar aku yang ke tempatmu saja "

"Oh, oke. Bagaimana kalau kita bertemu di kafeku saja?"

"Oke, aku akan tiba dalam setengah jam."

"Love you, Sayang."

Sakura mengulum senyuman miris. "Aku juga."



Setengah jam kemudian, Sakura sudah sampai di Dazzling Cafè, tempat di mana ia akan bertemu dengan seseorang.

Ketika ia membuka pintu kafe, seorang pelayan sudah menuggunya.

"Mari ikut saya, Tuan Sasori sudah menunggu."

"Baiklah."

Sakura mengikuti pelayan itu dari belakang, dan ternyata pelayan itu membawanya ke lantai dua kafe tersebut.

Di sana tengah duduk seorang pria bersurai merah terang yang kini melambai-lambaikan tangannya ke arah Sakura.

"Akhirnya kau datang juga," sambut pria itu dengan senyum manisnya.

"Maaf aku terlambat."

"Tidak masalah." Pria bernama Sasori itu meraih tangan Sakura. "Yang penting kau datang kemari, itu sudah cukup bagiku."

Sakura meringis dalam hati, ucapan Sasori membuat hatinya terpukul. Memang benar, pekerjaannya sebagai ilmuwan benar-benar membutuhkan waktu yang ekstra dibanding pekerjaan lain.

Bahkan ia seringkali mengingkari janji pertemuan dengan Sasori, sehingga Sakura selalu dihinggapi rasa bersalah jika melihat wajah kekasihnya itu.

"Maaf ya? Kalau aku belum bisa jadi pasangan yang terbaik untukmu." Sakura tertunduk menyesal.

"Hei, hei. Tidak apa-apa, aku mengerti kondisimu." Sasori mengangkat dagu Sakura agar bisa menatapnya. "Pekerjaanmu itu jauh lebih penting, karena dunia membutuhkan orang-orang sepertimu."

"Benarkah?" Mata Sakura mulai berkaca-kaca.

"Hm! Dan aku bangga denganmu."

Sakura tersenyum haru, ia merasa bersyukur memiliki pria seperti Sasori di sisinya.

"Tapi ... ada satu hal yang ingin kubicarakan denganmu." Wajah Sasori tiba-tiba berubah muram. "Ayahku sakit, dan ia memintaku untuk menikah dengan anak temannya."

Sakura merasakan tubuhnya tiba-tiba melemas. Kemana hilangnya detik-detik syukur yang ia panjatkan tadi?

Dengan berat, Sakura menaikkan sudut bibirnya, membentuk seulas senyum seceria mungkin.

"Oh, benarkah? Bagus kalau begitu! Aku yakin pilihan ayahmu adalah yang terbaik."

"Sakura--"

"Pokoknya, kalian harus mengundangku saat pernikahan. Aku tidak mau tahu!"

Tanpa disadari, air mata Sakura mulai tumpah. Sasori hendak menghapus air mata Sakura, namun wanita itu malah bergerak menjauh darinya.

"Sakura, maaf. Aku tidak bisa menolak permintaan ayahku," ujar Sasori menyesal. "Aku--"

"Aku mengerti." Sakura tersenyum hangat. "Kau sudah sering mengerti kondisiku selama ini. Sekarang, giliranku untuk mengerti kondisimu, Sasori. Menikahlah dengan wanita pilihan ayahmu itu."

Mata Sasori membulat, tidak percaya dengan reaksi Sakura atas ucapannya. Kemudian, dengan berat hati Sasori ikut mengukir senyuman di bibirnya.

"Kau wanita yang baik, Sakura. Kau pasti akan mendapatkan pria yang lebih baik dariku."



-TBC-

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang