[vingt-et-unième]

733 171 66
                                    

[ ava speaking ]

Mungkin selama ini, tugas-tugas itu hanyalah alasan Sim. Mungkin alasan sesungguhnya kenapa dia tidak mau bertemu denganku adalah karena dia sudah punya pacar.

Berarti, Sim memang tidak pernah suka padaku.

Astaga, aku mendadak merasa begitu bodoh. Kenapa pula aku menunggunya sekian lama? Seharusnya aku tahu sejak lama kalau Sim hanya menganggapku sebagai sahabat. Tidak lebih dan tidak kurang.

Duh, aku malah tidak fokus mengerjakan tugasku.

Sim tadi menanyakan kabarku. Aku hanya membalas kalau aku sedang buru-buru, lagipula aku tidak ingin menganggunya. Setelahnya, dia menelepon.

"Kenapa, Sim?"

"Gue beneran nggak ada salah sama elo kan Va? Kalau misal ada, gue beneran minta maaf. Gue harus ngapain biar lo maafin gue?"

"Ya ampun, lo nggak salah apa-apa, Sim."

Karena aku yang salah, sudah memutuskan untuk menyukaimu sekian lama.

"Lo nggak salah apa-apa. Tenang aja.

Sim diam sejenak. "Beneran?"

"Iya, beneran."

Beberapa saat kami hanya terdiam. Aku kangen berdiam-diam dengan Sim. Berdiam dengannya adalah diam yang begitu nyaman.

"Yang tadi itu... pacar lo bukan?" Aku memutuskan bertanya.

"Iya, minggu lalu baru jadian habis selesai ujian. Namanya Diana. Kapan-kapan gue kenalin deh."

"Wah, selamat. Udah memikat hati anak Jogja kamu ya."

Sim tertawa. "Lo sendiri? Ada yang lo suka?"

Kamu, Sim.

"Nggak ada kok. Gue mah bahagia-bahagia aja single."

Kami lalu membicarakan banyak hal, mulai dari tugas, ujian, dosen, dan lainnya. Berbicara dengan Sim via telepon seperti ini cukup mengurangi rasa rinduku.

Tapi tetap saja, tidak boleh sering-sering. Nanti aku tidak bisa move on.

As The Sun Goes DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang