18

2K 128 5
                                    

Mikayla dengan setia menunggu Aditya di depan pintu kamarnya. Sehabis membantu memasak sarapan, Mikayla hendak menemui Aditya.

Marissa tak membiarkan Mikayla naik kendaraan umum. Karena menurut, Marissa, jika Mikayla berangkat bersama Aditya ke sekolah, ia tak khawatir karena kedua anak itu bisa aman sampai sekolah.

Mikayla mengetuk pintu kamar Aditya. "Dit, udah kelar, belum?", tanya Mikayla pelan.

"Bentar, Mika!", sahut Aditya dari dalam kamarnya.

Gadis itu hanya mengangguk kecil, bersabar menunggu Aditya dari luar kamarnya.

"Aduh!"

Mikayla panik, sebab suara benda jatuh bersamaan dengan suara Aditya yang memekik kesakitan.

Tanpa berpikir panjang, Mikayla segera membuka pintu kamar Aditya. Ia tak peduli bagaimana reaksi Aditya nanti, entah mengusir atau memarahinya ia tak peduli. Sekarang ia merasa panik!

"Ya Allah, Aditya!", pekik Mikayla dengan raut wajah paniknya saat pintu kamar Aditya yang ia buka.

Gadis itu setengah berlari menghampiri Aditya yang tergeletak di lantai. Aditya baru saja terjatuh dari kursi rodanya.

Dengan sekuat tenaga, Mikayla membantu Aditya agar bisa duduk kembali diatas kursi rodanya.

Napas Mikayla sedikit tersengal, sebab membantu Aditya duduk kembali ke kursi roda cukup menguras tenaganya. Maklumi saja, Aditya laki-laki, dan Mikayla perempuan. Tenaga antara laki-laki dan perempuan itu berbeda.

Panik, itulah yang Mikayla rasakan. Ia tak tahu mengapa ia bisa sepanik itu. Mikayla berpikir kepanikannya ini terjadi karena ia takut, tak bisa menjaga anak majikannya dengan baik.

Gadis itu mendengus. "Kenapa loe bisa jatuh? Gue 'kan udah pernah bilang, kalo ada perlu panggil gue! Fungsi gue disini buat membantu pekerjaan di rumah ini, sekaligus membantu dan menjaga loe!"

Aditya tak sangka Mikayla yang terkenal datar itu bisa juga bersikap panik. Bahkan, Mikayla bersikap begitu cerewet saat ini.

Mata Mikayla seketika melotot, saat Aditya memajukan tubuhnya ke arah Mikayla, membuat gadis itu tak berkutik.

Mata Aditya menatap mata Mikayla tepat. Jantung Mikayla kembali berdetak kencang. "Ya Allah, beneran ada masalah sama jantungku! Katanya mbak Marni ini gugup, tapi tatapan Aditya itu- mematikan!"

Mata Aditya tak henti menatap mata Mikayla. Hanya keheningan yang membelenggu mereka.

Aditya yang tahu Mikayla menahan napas karena ia tatap sedemikian rupa memundurkan kembali tubuhnya. Napas lega keluar dari pernapasan Mikayla.

"Makasih, yah! Kamu sudah perhatian sama saya.", ucap Aditya menatapnya aneh.

Mikayla langsung berdiri. "Nggak usah ge-er! Gue cuma ngejalanin tugas, nggak lebih!", balas Mikayla dengan nada suara, datar.

Aditya teesenyum tipis. Ia maklum jika Mikayla bersikap seperti itu, awal pertemuan mereka saja begitu banyak kejadian tak terduga, mengungkung mereka dan melibatkan mereka dalam masalah.

"Loe cari apa? Biar gue bantu!", kata Mikayla menatap Aditya.

"Saya mau ambil dasi, tapi dasinya ditaruh di tempat yang tinggi."

Mikayla mengangguk. Gadis itu mencari dasi sekolah Aditya.

Setelah menemukan dasi milik Aditya, Mikayla kembali mensejajarkan posisinya dengan Aditya. "Biar gue yang bantu pasangin dasinya! Kita udah hampir telat!"

Tangan Mikayla dengan terampil mulai memasang dasi di leher Aditya.

Senyum Aditya tak henti mengembang melihat Mikayla yang memasangkan dasi untuknya.

"Udah!", ujar Mikayla yang diangguki oleh Aditya. Mikayla membantu mendorong kursi roda Aditya keluar kamar.

***

Pandangan aneh lagi-lagi kembali tertuju pada Mikayla dan juga Aditya. Tidak, tidak! Lebih tepatnya pada Mikayla yang tengah mendorong kursi roda Aditya menuju kelas.

"Adit!"

Arman, cowok bergaya necis itu menghampiri Aditya. Pandangan tidak suka Arman berikan pada Mikayla. Mikayla sendiri hanya menatap Arman cuek.

"Loe pergi aja, biar gue yang bantu Adit!", ujar Arman dingin pada Mikayla.

Mikayla hanya mengendikkan bahu, lalu ia melenggang meninggalkan dua cowok itu.

Ia tak mau merusak paginya dengan marah-marah dengan Arman. Ia juga percaya, Arman dapat menjaga Aditya dengan baik.

Baru saja hendak ke kelasnya, Mikayla merasa seseorang mencekal pergelangan tangannya. Gadis itu berjengit kaget.

"Gue minta penjelasan!"

Leni, bersama Vicka dan juga Nela menghadang jalan Mikayla.

"Kenapa? Penjelasan apa?"

Keempat gadis itu tak sadar jika mereka sekarang menjadi pusat perhatian di koridor.

"Penjelasan, kenapa loe bisa berangkat dan pulang bareng Aditya selama beberapa hari ini? Loe pacaran sama dia?"

Pertanyaan Leni itu membuat Mikayla mengepalkan kedua tangannya geram.

"Apa itu doang pertanyaan kalian?", tanya Mikayla dengan sorot mata yang dingin, kedua tangannya makin terkepal kuat.

"Bukan cuma itu aja, Mika! Kenapa loe bersikap seolah-olah loe itu kayak pembantunya Aditya? Loe sampai rela ke bangkunya buat nanyain dia mau dibeliin makanan!", pertanyaan itu datang dari Nela.

Sungguh, Mikayla geram sekali sekarang. Apa begini rasanya diinterogasi dengan orang-orang yang begitu senang mengusik kehidupan pribadi orang lain?

Tapi, bukan Mikayla namanya jika ia tak bisa membungkam mulut orang-orang yang berusaha menganggunya. Walaupun, dirinya akan jadi hinaan taruhannya.

"Kalian mau tau kenapa gue pulang dan berangkat sekolah bareng Aditya? Dan kenapa gue sampai rela ke bangku Aditya cuma mau nanyain tentang apa yang harus gue beliin buat dia? Gue bakalan jawab rasa penasaran kalian! Dengerin gue baik-baik!"

Aditya dan juga Arman yang melihat banyak siswa yang sedang berkumpul memasang tampang bingung dan juga penasaran. Apa yang terjadi sekarang?

Perlahan, Arman mendorong kursi roda Aditya mendekati pusat keramaian itu.

Mikayla, memejamkan kedua matanya sesaat. Hari ini adalah pertaruhan baginya, dan sudah pasti ucapan yang terlontar dari mulutnya hari ini mungkin saja merubah kesehariannya di SMA Vermona ini.

"Dengerin gue! Gue, sekarang pembantunya Adit! Gue bekerja di rumah Adit! Alasan gue kerja di rumahnya, gue terlalu banyak menghamburkan uang, gue jatuh miskin dan gue jadi seorang pembokat!"

Siswa lain yang mendengar itu melebarkan mata, dan menutup mulut mereka dengan tangan mereka sendiri.

"Oh, iya! Satu lagi! Kenapa gue jadi pembantu, alasannya, meskipun gue udah jatuh miskin, gue nggak mau hidup tanpa uang! Lumayan 'kan, gue tinggal di rumah Aditya yang mewah, bisa makan enak, dan gue digaji! Udah yah, gue kayaknya kebanyakan bacot !"

Mikayla tersenyum sinis, lalu berjalan santai menuju kelasnya.

Dalam hati kecilnya, ia sedih dengan apa yang diutarakannya pada teman-teman yang melihatnya. Tapi mau bagaimana lagi, ia harus melakukannya.

Mikayla dan AdityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang