48

1.3K 96 0
                                    

Aditya dan Mikayla duduk disalah satu bangku yang terletak dipinggir jalan yang cukup sepi.

Hening membelenggu, sedang langit malam menambah suasana sepi jadi makin mencekam. Keduanya belum saling bicara, masih sibuk dengan pikiran masing-masing.

Jenuh dengan kondisi hening ini, Mikayla memilih membuka obrolan lebih dulu. "Loe tau kondisi kaki loe baru aja pulih, dan loe ngajakin gue ke tempat sejauh ini?"

Aditya menghembuskan napas berat. "Iya, aku tau itu, Mika. Aku cuma mau nanya, kenapa kamu harus ninggalin rumah hari ini, apalagi udah malam. Padahal kamu bilang, akan pergi kalo aku sudah bisa jalan."

"Gue nggak salah Dit kalo sekarang gue memutuskan pindah ke kontrakan. Loe liat keadaan loe sekarang, loe udah bisa jalan, dan loe bawa gue ke tempat yang jauh ini."

Jujur, Aditya ingin mengatakan pada Mikayla jika gadis itu tak perlu pergi. "Mika, apa perlu yah kamu harus tinggal di kontrakan baru? Kalo boleh jujur, aku mau kamu bisa mendampingi aku."

Mikayla menatap Aditya lekat. "Tanpa loe minta, gue bakal berusaha agar bisa mendampingi loe. Entah gue sebagai pembantu ataupun sebagai teman loe. Intinya, gue akan terus ada, membantu loe."

Keduanya kembali memilih untuk diam. Aditya mendesah. "Mika, jika seandainya kaki aku masih lumpuh, apa kamu.."

Aditya tak bisa meneruskan perkataannya sebab Mikayla menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Mikayla nampak menggelengkan kepalanya beberapa kali, dan ia kembali menitikkan air mata. Ia lalu menjauhkan kembali telapak tangannya dari mulut Aditya. "Jangan ngomong kayak gitu! Loe harusnya bersyukur, loe bisa jalan, dan nggak akan ada orang kayak gue yang akan menghina loe, bahkan sampai menyakiti loe."

"Jangan pernah salahin diri kamu! Aku bersyukur, setelah kejadian yang kita alami, kita menjadi teman baik. Dan, aku cuma mau bilang, aku hargai keputusan kamu."

"Makasih, loe udah mau ngerti-in gue."

***

Hari ini, Aditya nampak begitu tampan. Ia sudah siap ke sekolah, tentunya dengan suasana yang baru.

Kakinya sudah bisa berjalan dengan normal, ia tak membutuhkan bantuan kursi roda lagi. Meskipun demikian, ia tetap menyimpan kursi roda itu, agar ia senantiasa ingat bahwa ia pernah dalam masa-masa yang sulit, serta menambah rasa syukurnya atas pulihnya kondisi kakinya.

Aditya berjalan keluar, menutup kembali pintu kamarnya. Ia sempat memandang ke arah pintu kamar Mikayla yang sudah tak ditempati lagi. Ia menghembuskan napas, merasa kesepian. Jika setiap pagi Mikayla akan datang menemuinya, mengajaknya turun sarapan dan mengajaknya berangkat sekolah. Selain itu, tiap siang ataupun malam Mikayla akan ke kamarnya, mengingatkannya untuk makan tepat waktu.

Sudahlah, toh ia akan bertemu Mikayla di sekolah nanti.

Aditya melangkah menuju ruang makan. Disana sudah ada Marissa yang sedang menunggunya. "Selamat pagi, ma!", sapa Aditya mengambil posisi duduk disebelah Marissa.

"Pagi, oh iya! Mau bawa bekal, nggak?", tanya Marissa. Ia rasa pertanyaan ini perlu ia ajukan, sebab saat Aditya menggunakan kursi roda Aditya sering meminta bekal, dikarenakan kesulitannya untuk bolak-balik kantin.

Aditya tersenyum. "Iya, mah!"

"Kebetulan mama sudah siapkan.", Marissa lalu menyerahkan kotak makan pada Aditya.

"Makasih, mah!", ucap Aditya kemudian memasukkan bekal itu kedalam tasnya.

"Yaudah, habiskan sarapannya dan berangkat sekolah."

Mikayla dan AdityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang