76

1K 67 6
                                    

Brenda melangkah pelan masuk kedalam rumahnya. Entah mengapa pembicaraan bersama Mikayla tadi serasa menghadirkan rasa hangat dihatinya.

"Kenapa, Lia?"

Roni mengampiri Brenda yang masih duduk ditepi tempat tidur.

Brenda tersenyum tipis. "Nggak papa kok, mas. Tadi aku ketemu sama Mikayla, kakak kelas Tisha. Pas ngomong sama dia, aku ngerasain sesuatu yang beda."

"Mikayla, anak itu mungkin mengingatkan kamu sama anak kita. Aku jadi makin merasa bersalah. Pasti sekarang dia sudah besar."

Ya, Brenda juga merasa bersalah. Ia hanya diam saja saat itu. Rasa takut jika anaknya akan membencinya saat semuanya terungkap menari dalam kepalanya. Ia tak tahu, apakah ia bisa menahan kebencian yang akan dialamatkan padanya nanti.

"Apa mas sudah tau, dimana keberadaan bi Wina dan anak kita?"

Roni menggelengkan kepalanya, menandakan ia belum tahu dimana keberadaan bi Wina dan anak mereka. "Aku belum tahu dimana keberadaan mereka. Tapi, kamu jangan khawatir, aku janji akan menemukan mereka."

Seseorang yang mendengar percakapan mereka didepan pintu kamar tersenyum sinis. Tak lama ia masuk kedalam kamar Brenda dan Roni.

Suseno-pria paruh baya itu menatap tajam pada Roni-anaknya dan Brenda-menantunya.

"Perempuan ini minta apalagi ke kamu? Meminta kamu mencari anak haramnya, hasil hubungan gelapnya dengan pria lain?"

Suseno mengatakan ucapannya tak memikirkan perasaan Brenda sama sekali. Pria paruh baya itu membuka mulutnya untuk berbicara lagi. "Dulu papa sudah bilang, jangan pernah menjalin hubungan dengan wanita jalang ini! Dan lihat, wanita ini bahkan menyuruh kamu mencari anaknya. Apa belum cukup dia menghancurkan segalanya?! Kamu menikahi dia, apa dia juga mau agar kamu mengakui anaknya sebagai anak kamu?"

Perasaan Brenda begitu sangat sakit. Sebegitu rendahkah ia dimata sang mertua? Padahal, mertuanya ini belum tahu kejadian yang sebenarnya, tapi ia sudah mencerca tanpa berpikir panjang.

"Cukup, pah! Sampai kapan papa benci sama istriku? Kejadiannya sudah lewat 16 tahun yang lalu. Kenapa hati papa masih belum terbuka untuk memaafkan kesalahan kami? Kami tau, tindakan kami kelewatan. Tapi, sampai kapan papa mau hidup dengan kebencian yang papa simpan?"

Suseno bungkam. Ia akui ia sudah memaafkan Roni, tapi Brenda? Mungkin seumur hidup ia akan benci dengan menantunya itu.

Suseno memutuskan untuk keluar dari kamar Brenda dan Roni. Emosinya tengah berada pada kadar tertinggi. Ia tak yakin bahwa ia tak akan menyakiti menantunya jika emosinya tengah melanda.

***

Tepat hari ini, hari dimana Aditya akan merayakan ulang tahunnya.

Karena itulah, Mikayla sangat sibuk sekarang. Sepulang sekolah tadi, Mikayla langsung membeli kertas kado. Dan sekarang, ia sibuk berkutat dengan alat-alat di dapur.

Rencananya, ia akan memberikan kado yang tak biasa bagi Aditya. Kado berupa makanan. Tidak lupa pula gelang yang dibelinya kemarin. Meski kedengarannya sederhana, Mikayla ingin hadiah darinya mampu membuat Aditya senang.

"Perlu mbok bantu, nggak?", tawar mbok Wina.

Mikayla tersenyum tipis. "Nggak perlu, mbok. Lagipula, sebentar lagi selesai." Mikayla kembali sibuk menghias kue buatannya dengan coklat aneka warna.

Mbok Wina mengangguk. "Yaudah. Nanti kita berangkat jam berapa ke rumah ibu Marissa?", tanya mbok Wina.

"Jam setengah tujuh malam, mbok."

Mikayla dan AdityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang